Merujuk catatan S Wardi, seorang pemerhati sejarah lokal, Graaf dan Pigeaud mengatakan di dekat mihrab masjid terdapat sebuah relief yang disemen dalam tembok.
Relief itu menunjukkan candra sangkala, yaitu catatan tahun yang diwujudkan dalam lukisan tertentu.
Menurut Wardi, candra sangkala itu berupa lukisan kepala, kaki, tubuh dan ekor, yang menunjukkan angka 1401 Tahun Jawa atau 1479 Masehi.
Sedangkan pada pintu utama masjid tertera candra sangkala lain, yang melambangkan angka 1428 Tahun Jawa atau 1506 Masehi.
BACA JUGA:Perusahaan Diminta Bayar THR Karyawan, THR ASN Disiapkan Rp17 Miliar
BACA JUGA:Jelang Idul Fitri Disperindag Usulkan Penambahan Kuota Gas Elpiji Subsidi
Kedua Indolog itu mengatakan, informasi tersebut tampaknya dapat dipercaya, mengingat tahun-tahun itu bertepatan waktu dengan momen sejarah perkembangan kekuasaan Kerajaan Demak.
Sedangkan bicara perihal baju wasiat "Antakusuma," sebuah rompi pusaka yang konon jatuh dari langit sebagai pemberian dari Tuhan dan namai Kyai Gundil, Graaf dan Pigeaud mencatat: sebuah dokumen Belanda yaitu Dagh-Register, bertanggal 12 November 1703, memberitakan: baju wasiat itu masih disebut sebagai salah satu pusaka kraton, yang diberikan kepada raja baru yaitu Amangkurat III di Kartasura.
Sayangnya pada legenda Ki Gede Sesela, yaitu kisah mukjizat penangkapan kilat (bledeg), Graaf dan Pigeaud tidak memberikan interpretasi secara luas dan utuh.
Graaf dan Pigeaud hanya menggarisbawahi makna cerita itu sebagai adanya "keputusan politik penting" yang terkait mait dengan mitologi di era sebelumnya yaitu zaman Hindu-Jawa, dan posisi pentingnya Ki Gede Sesela ini sebagai moyang dari wangsa Mataram-Islam.
BACA JUGA: Penanganan Stunting dan BLT Masih Prioritas Penggunaan DD 2024
BACA JUGA:Bikin Pusing Camat, Jadwal Safari Ramadhan Bupati Berubah-ubah
Singkat kata, bagi Graaf dan Pigeaud, cerita-cerita tentang orang sakti, legenda mengenai tokoh-tokoh yang menyebarluaskan agama Islam di Tanah Jawa pada abad ke 15 - 16, pertama-tama harus dilihat sebagai bukti bahwa peradaban Islam-Jawa--yang dikembangkan oleh para Wali Sanga--dalam banyak hal merupakan kelanjutan dan sekaligus pembaharuan dari peradaban Hindu-Jawa kuno.
Sedangkan bicara posisi Kalijaga ialah tokoh kharismatis dan sakti dalam kisah penyebaran agama Islam di Jawa Tengah khususnya di bagian selatan.
Bukan saja cerita-cerita tentang Kalijaga tercatat sejak awal pendirian Mataram-Islam telah menjadi sumber legitimasi, bahkan hingga kini juga masih ditempatkan sebagai role model keislaman orang Jawa.
Pada konteks role model keislaman dari para Wali Sanga dan khususnya ialah Kalijaga inilah, pada perjalanan muthakirnya kini di Indonesia telah terkontruksi suatu model keislaman yang ramah dan inklusif.