RADAR UTARA - Ragam bidal atau pepatah lawas yang sarat makna, dalam lelakon pewayangan masih sangat relevan untuk diterap hingga saat ini. Layaknya, bidal-bidal yang lahir dari sudut-sudut Indonesia yang sangat beragam.
Salah satunya adalah "Sugih Tanpo Bondo, Digdoyo Tanpo Aji, Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake" yang jika diartikan dalam Bahasa Indonesia. Falsafah Jawa ini berati, Kaya atau berkemampuan tanpa Harta, Berdaya bukan lantaran adanya sebuah faktor. Seperti jabatan, pangkat hingga status sosial lainnya, berperang tanpa bala tentara yang berarti mampu melawan hawa nafsu. Serta kemudian menang atau berjaya tanpa mesti merendahkan atau mengorbankan orang lain, agar lebih maju.
Apa yang bisa kita maknai dan pelajari dari filsah jawa ini. Tak lain dan tak bukan adalah menyadarkan diri kita bahwa kita hanyalah manusia yang syarat dengan salah, marah dan lupa. Namun meski syarat itu sudah jadi pakaian hidup, kita selalu diwajibkan untuk melakukan upaya (ikhtiar) untuk menemukan jati diri kita dalah memaknai hidup, menghidupi dan kehidupan.
Sugih tanpo bondo atau kaya tanpa harta, ya... memang terkesan aneh atau mungkin kontradiktif untuk kita dengar, melihat situasi saat ini. Dimana persaingan, acap diasosiasikan sebuah kompetisi yang menghalalkan segala cara, hanya untuk menang atau meraih sebuah pencapaian pribadi.
Karena pandangan umum kita, jika kaya tentunya pasti dimaknai dengan banyak harta benda. Namun jika kita maknai kodrat diri kita, bahwa kita lahir tanpa modal apapun. Sehingga idealnya keliru ketika bertanya tentang untung dan rugi. Sugih atau kaya, dalam bidal ini dimaknai dengan kekayaan secara luas. Tidak terkotomi oleh pandangan materiil semata.
Dengan kata lain, ketika kita senantiasa bersyukur, syukur dan syukur. Selaras dengan ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Semakin pandai kita bersyukur, maka semikin ditambah nikmat-NYA untuk kita.
Ragam nikmat yang sangat luas itu tidak hanya kenikmatan harta benda, tapi juga termasuk ilmu pengetahuan, pengalaman dan keyakinan yang kuat untuk Ber-Tuhan, sebagai penguat batin sehingga tidak berkutat dengan pandangan sempit soal kaya dan miskin.
Digdoyo tanpo aji, merupakan cerminan dari sifat dan sikap seseorang yang selalu menjaga lisannya dan tindak tanduknya di dalam bersosial. Bersosial dalam artian luas. Tidak sebatas hubungan antar manusia.
Tapi juga sesama mahluk Tuhan. Juga dengan alam. Sehingga dimanapun kita berada, selalu memberikan kedamaian, kenyamanan dan menciptakan kerukunan serta keseimbangan yang hakiki. Makna kedigdayaan, bukan terletak pada ilmu kanuragan atau ajian atau istilah-istilah lainnya, tapi lebih kepada perilaku mulia terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ngluruk tanpo bolo, sepintas seolah-olah kalimat ini menggambarkan keangkuhan. Esensi Ngluruk Tanpo Bolo, sejatinya adalah kemampuan dan tekad berperang melawan dengan diri sendiri yang cenderung dipengaruhi oleh hawa nafsu pada diri.
Dalam bahasa kekinian, dapat pula diartikan sebagai integritas. Kita adalah penentu terhadap diri kita sendiri. Bahkan dalam sebuah kayakinan, Tuhan berkata, "Aku Sebagaimana Pandangan Umat-KU" dan Jihad terberat sepanjang hidup adalah pengendalian diri.
Berikutnya, Menang tanpo ngasorake. Adalah salah satu laku berbudi luhur yang tidak karena obsesi, kemudian menghalalkan segala cara. Tidak merendahkan pribadi lain, tidak mengumbar angkara murka yang khitohnya adalah sesama mahluk ciptaan-NYA. Karena sejatinya, perjalanan hidup adalah jejak, catatan yang sebagai mahluk ber-Tuhan meyakini semua itu akan kita pertanggungjawabkan.
Mohon Maaf jika terjadi ada kekeliruan atau salah dalam penafsiran. Semoga kita selalu bersama Mewahyu Hayuning Bawono, mengusahakan keselamatan, kebahagiaaan dan kesejahteraan. Untuk memberantas segala angkara murka, serakah dan tamak, khususnya pada diri kita sendiri seperti yang diajarkan Kanjeng Sunan Kalijaga. (**)