BACA JUGA:DI NEGERI PARA PESOLEK
"Ya, Pak" tanggap Kinong memperhatikan objek beku yang mengambang dengan rupa wajah menatap langit. Perempuan, masih muda. Usia kisaran 20 tahun; matanya mendelik dengan mulut menganga. Duh Gusti, batin Kinong tak mengerti.
***
Semburat jingga dari cakrawala senja membayang menyapih di permukaan sungai. Duduk bersila di sebuah kursi dari potongan bambu; Kinong meremang memandangi arus kali yang bertambah pasang itu.
Bunyi lantunan pengajian radio menggema melalui langgar. Kinong ingat manakala masih umur 6 tahun, almarhumah sang ibu sering membawanya untuk bersiap salat magrib jika situasi begini.
Tidak sekarang, ketiadaan ibunya yang meninggal karena tenggelam di sungai itu menyisakan deretan kasih yang terputus. Sementara rekam kenangan hanya kerap berujung pada hangatnya air mata. Kinong mengusapnya.
BACA JUGA:Rubik Hati Naras
BACA JUGA:SESUATU DALAM MAHKOTANYA
Derap kaki mendekat. Kinong merasakan itu, matanya lalu beralih ke samping di area jalan semen cor dengan luas hanya setengah meter. Bapak pulang, pikirnya penuh harap.
"Bukan seperti yang kau tunggu, Nong."
Suara Junay, terpaut 3 tahun. Dia sekarang SMA kelas XI. Junay lewat dengan dua rekannya.
"Tiap magrib kau melamun begitu di tepian sungai. Ibumu sekarang damai. Tak usah lebai berlarut begitu."
Mendadak uap panas mengasap dari tubuh Kinong. Wajahnya yang semula sendu kini gelap merah dengan aura kusumat yang meradang.
BACA JUGA:Celurit Matrah
BACA JUGA:Defisit Kebudayaan: Sastra dalam Bayangan Pasar dan Prinsip 5W-1H
"Ibuku tenggelam tanpa pertolongan dari warga sini. Gaya antisimpatik pakai di dalam kota sana, bukan di kampung ini!"