Dalam laporan tersebut, OJK juga mencatat bahwa sekitar 30% dari total utang paylater dikelola oleh konsumen yang sudah mengalami keterlambatan pembayaran.
BACA JUGA: RSUD Mukomuko Diminta Komitmen Bayar Utang Obat
BACA JUGA: Bank Indonesia Jamin Utang Luar Negeri Aman dan Terkendali
Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang potensi risiko kredit dan dampak sosial yang lebih luas bagi masyarakat.
Utang yang tinggi di sektor paylater dapat memicu masalah finansial bagi individu, sehingga pihak OJK mengimbau masyarakat untuk bijak dalam menggunakan layanan ini dan tidak terjebak dalam siklus utang.
Menyikapi fenomena ini, OJK berencana untuk memperketat regulasi di sektor fintech, terutama terkait dengan penyedia layanan paylater.
OJK telah mulai menerapkan sejumlah kebijakan baru yang bertujuan untuk melindungi konsumen dan memastikan transparansi dalam produk-produk yang ditawarkan.
BACA JUGA:Agar KTP-mu Tidak di Gunakan Untuk Utang Pinjol Orang Lain. Ini Cara Ceknya
BACA JUGA:Utang Pemerintah Kembali Naik. Kini Menjadi Rp7.950 Triliun
Beberapa langkah tersebut meliputi kewajiban bagi penyedia layanan untuk memberikan informasi yang jelas mengenai bunga, denda, serta syarat dan ketentuan lainnya.
Di sisi lain, sejumlah penyedia layanan paylater juga mulai memperkenalkan fitur-fitur yang membantu konsumen dalam mengelola utang mereka
Seperti pengingat pembayaran dan simulasi pembayaran yang lebih transparan.
Ini diharapkan dapat membantu konsumen membuat keputusan yang lebih baik dalam penggunaan layanan paylater.
Salah satu hal yang menarik untuk dicatat adalah perbandingan antara utang paylater dengan utang kartu kredit.
BACA JUGA:Pemkab Mukomuko Lunasi Utang Proyek RS Pratama, Totalnya Rp5 Miliar
BACA JUGA:SPPT PBB Bermasalah Jadi Hutang Desa, Bapenda Harus Turun ke Lapangan!