Bersama Menyiapkan Mudik Ceria Penuh Makna
Sejumlah penumpang angkutan kapal laut tujuan Tanjung Priok, Jakarta menunggu keberangkatan di terminal keberangkatan Pelabuhan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau. ANTARA FOTO/ Teguh Prihatna--
RADARUTARA.BACAKORAN.CO- Perpindahan penduduk selama masa Idulfitri, yang dikenal dengan istilah mudik, merupakan fenomena sosial yang terjadi di Indonesia setiap tahun.
Pada dasarnya, mudik dimaknai sebagai pulang ke kampung halaman.
Sejumlah situs di Indonesia menuliskan, mudik diyakini sebagai singkatan dari 'mulih dilik' yang artinya pulang sebentar. Sementara itu, para antropolog mencatat, mudik berasal dari bahasa melayu 'udik' yang artinya hulu atau ujung.
Pada masa lampau, masyarakat Melayu yang tinggal di hulu sungai sering bepergian ke hilir sungai menggunakan perahu atau biduk. Setelah selesai urusannya, mereka akan pulang ke hulu pada sore harinya.
BACA JUGA:Persiapan Mudik Lebaran, Dishub Gelar Ramcek
BACA JUGA:Pemprov Bengkulu Jamin Kesiapan Jalan Songsong Arus Mudik Lebaran
Di tanah air, mudik merupakan kebiasaan lama. Yakni, sejak zaman sebelum kerajaan Majapahit.
Namun, fenomena mudik mulai menjadi tren sejak berkembangnya kota-kota besar di Indonesia pada awal 1970-an (Somantri, 2007).
Para perantau alias pendatang kota mengadu nasib untuk memperoleh pekerjaan atau penghasilan utama.
Kemudian, di saat hari libur kerja yang panjang dan bermakna kultural seperti Lebaran dan tahun baru, mereka memilih pulang kampung.
BACA JUGA:Antisipasi Lonjakan Pemudik Lebaran 2024
BACA JUGA:Stabilitas Jalur Mudik Mendesak
Khususnya di masa Lebaran, menjadi waktu istimewa untuk ‘rehat’ bersama keluarga di kampung halaman.
Sekalipun perkembangan teknologi memungkinkan sanak keluarga bertemu secara virtual, tradisi mudik tidak dapat digantikan.