Iklan doni 2

QRIS Penting, Tetapi Kedaulatan Rupiah tidak Boleh Ditinggalkan

Warga membayar zakat menggunakan qris di Masjid Pusat Dakwah Islam (Pusdai), Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/3/2025). Kementerian Agama menargetkan pengumpulan zakat nasional di bulan Ramadan 2025 dapat naik 10 persen yang hingga 19 Maret 2025 total zakat-ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi /YU-

RADARUTARA.BACAKORAN.CO - Perdebatan publik terkait kewajiban pembayaran non-tunai di sejumlah gerai ritel kembali menyoroti keseimbangan antara modernisasi sistem pembayaran dan perlindungan kedaulatan Rupiah.

Menanggapi isu tersebut, Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menegaskan bahwa inovasi pembayaran digital seperti QRIS perlu ditempatkan secara proporsional dan berlandaskan hukum.

Menurut Fakhrul, QRIS merupakan salah satu capaian penting kebijakan sistem pembayaran nasional yang dikoordinasikan oleh Bank Indonesia.

Tingginya tingkat adopsi QRIS menunjukkan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan nasional sekaligus efektivitas kebijakan bank sentral dalam mendorong efisiensi transaksi dan inklusi keuangan.

BACA JUGA:Pemerintah Pastikan Pelaku UMKM Dapatkan Hak Terkait Penghentian Layanan QRIS

BACA JUGA:Efisiensi dan Keamanan QRIS Turut Mendorong Masyarakat untuk Tinggalkan Pembayaran Tunai

“QRIS adalah inovasi yang patut diapresiasi. Ia mempermudah transaksi, menurunkan biaya ekonomi, dan memperluas akses pembayaran non-tunai. Dalam konteks modernisasi ekonomi, ini adalah langkah yang tepat,” ujar Fakhrul, dalam keterangannya.

Namun demikian, ia mengingatkan bahwa kemajuan teknologi pembayaran tidak boleh mengaburkan prinsip dasar kedaulatan mata uang. Secara hukum, Rupiah adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah di Indonesia, yang hingga kini diwujudkan dalam bentuk uang kertas dan uang logam, serta ke depan akan mencakup Rupiah digital yang diterbitkan oleh bank sentral.

“QRIS bukan mata uang, melainkan sistem pembayaran. Yang berpindah dalam transaksi QRIS adalah saldo Rupiah di rekening atau uang elektronik. Karena itu, penolakan pembayaran tunai tidak bisa dipandang sekadar kebijakan bisnis, melainkan menyangkut hak warga negara,” jelasnya.

Fakhrul menilai kepastian hukum terkait alat pembayaran menjadi krusial agar tidak ada kelompok masyarakat yang terpinggirkan dari aktivitas ekonomi akibat keterbatasan akses atau preferensi teknologi. Menurutnya, selama seseorang menggunakan alat pembayaran yang sah, transaksi semestinya tidak ditolak.

BACA JUGA:Transaksi QRIS Melonjak, Revolusi Pembayaran Digital di Indonesia

BACA JUGA:Pengguna QRIS Meningkat, Solusi Pembayaran Tanpa Tunai Kian Digemari

“Digitalisasi tidak boleh berubah menjadi eksklusi. Tidak semua warga memiliki tingkat literasi digital, akses perbankan, atau kesiapan teknologi yang sama. Negara harus memastikan modernisasi berjalan inklusif,” katanya.

Ia juga menekankan pentingnya edukasi publik mengenai perbedaan antara uang, sistem pembayaran, dan instrumen pembayaran. Minimnya pemahaman, menurut Fakhrul, berpotensi memicu kesalahpahaman di masyarakat dan praktik yang bertentangan dengan prinsip kedaulatan Rupiah.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan