Peta Politik Pilkada 2024 Berubah
Pemilu 2024--
ARGA MAKMUR RU - Strategi politik Pilkada 2024, dipastikan bakal berubah. Utak-atik yang sebelumnya, memungkinkan dilakukan pemerintah pusat, sebelum kemudian uji materiil atas perkara dengan nomor 143/PUU-XXI/2023, diamini Mahkamah Konstitusi (MK).
Maklum, dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, periodisasi kepala daerah hasil Pilkada 2018 yang dilantik 2019 itu, disunat. Tidak sampai 5 tahun.
Pengamat Politik yang juga Dosen Fakultas Isipol Universitas Ratu Samban, Ahmad Bastari, S.Sos, M.Si. Tak menampik pola atau strategi menuju kontestasi Pilkada se Indonesia, bakal mengalami perubahan setelah adanya putusan MK itu.
Dia menjelaskan, sebelum adanya uji materiil, konstelasi politik dapat diwarnai dengan keberadaan penjabat atau Pj kepala daerah.
BACA JUGA: Umat Kristiani Serukan Perdamaian Dunia
"Keberadaan pj ini, tentunya akan berdampak langsung dan tidak langsung serta psikologis tersendiri pada lingkungan birokrasi. Minimal, penyesuaian karena adanya perubahan pucuk pimpinan. Itu tidak bisa dipungkiri," AB, begitu sapa akrabnya, menganalisa.
Sebagai negara demokrasi, dimana proses penyelenggaraan tata negara sangat diwarnai dengan proses politik. AB menengarai, dinamika regulasi yang terjadi tidak lepas dari politik itu sendiri.
Tinggal lagi, kata dia, kerja-kerja yang nantinya dituangkan dalam politik kebijakan, diharapkan tidak lepas dari koridor etik dan hukum. Sebagai dasar dalam penyelenggaraan sistem demokrasi.
Turut ditegaskannya pula, secara negara yang tidak kecil dan dengan jumlah penduduknya yang tidak sedikit. Pemahaman, pengetahuan sampai dengan pendidikan politik dalam artian luas, sangat penting dilakukan di Indonesia. AB lantas menyerukan, agar hiruk pikuk sosial, agar tidak dibarengi dengan apatisme terhadap politik.
"Karena politik adalah alat. Politik adalah seni. Politik tidak pernah buruk. Politik itu luhur. Tinggal lagi, penjelmaan dari kerja-kerja politik, akan dapat ditilik oleh subyek atau pelakunya. Maka ketika ada pernyataan, "Anti Politik" adalah satu hal yang keliru dan ini bahkan membahayakan iklim politik secara luas dan jangka panjang," jelasnya.
Layaknya obyek Judicial Riview (JR) yang dilakukan oleh para Pemohon yakni Drs. Murad Ismail; Dr. Emil Elestianto Dardak, M.Sc.; Dr. Bima Arya Sugiarto; dkk, yang menguji Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Lantaran dianggap melabrak Undang-Undang Dasar 1945, kata AB, hal itu pun merupakan bagian dari proses politik.
Langkah tersebut, kata dia, merupakan salah satu contoh, upaya-upaya politik yang berlaku pada negara hukum dan demokratif, layaknya Indonesia. Dengan artian, lanjut dia, penyelenggaraan bernegara, sudah sangat baik dan diatur sedemikian. Agar laju gerbong bernegara ini memiliki kepastian hukum.
"Menggunakan kanal-kanal yang dibenarkan oleh konstitusi, salah satu bentuk berpolitik. Untuk itulah, pemahaman politik ini, agar tidak dimaknai secara sempit. Tapi secara luas. Dan ini menjadi bagian dari partai politik juga, dalam menggenjot pendidikan politik di masyarakat," wejangnya.
Dilansir sebelumnya, MK secara resmi menerangkan dalam provisi: Menyatakan permohonan provisi para Pemohon tidak dapat diterima. Dalam Pokok Permohonan: 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian.
2. Menyatakan Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) yang semula menyatakan., "Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023", bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024”.
Sehingga, norma Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota selengkapnya menjadi menyatakan.
BACA JUGA:Gegara Rekening, Dana Hibah Bawaslu Belum Ditransfer
“Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024”. 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Lebih jauh, AB menilai, dinamika politik akan kian mencolok nantinya setelah penghitungan hasil Pilpres, 14 Februari 2024. Khususnya, kata dia, pada cluster pemilihan calon legislatif (caleg).
"Dari hasil itu, akan dapat dilihat partai-partai mana yang memiliki posisi potensial mengusung kandidat secara mandiri. Juga sebaliknya, memasang kuda-kuda, berkoalisi," pungkasnya. (bep)