Sungai Yang Meminta Kedatangan
Ilustrasi-ist-
Pak Prehatin beralih duduk dan memilih menyandar dinding lalu menyalakan rokok. Asap putih kebiruan mengudara lalu pecah diterpa angin dari jendela yang terbuka.
"Cukup untuk tabunganmu. Sekolah yang pintar dan tinggi. Bapak akan dukung kamu. Jangan turuni nasib Bapak."
Kinong mengunyah bakso suapan pertamanya. Telinga dan pikirannya tampak fokus menyimak petuah itu. Usai mengunyah dan menelan, Kinong menukas "Junay bilang bahwa sungai itu berpenunggu. Hanya orang tak waras yang berenang di sana. Orang sini selalu menganggap kita meras orang susah. Sebuah pekerjaan yang memalukan sekaligus mengerikan."
"Nong. Pada masanya kamu pasti akan paham bahwa kengerian sebenarnya itu bukan dari setan atau jin. Yang paling menakutkan itu manusia yang tak pernah peduli dengan sesamanya, Nong!"
BACA JUGA:Celurit Matrah
BACA JUGA:Defisit Kebudayaan: Sastra dalam Bayangan Pasar dan Prinsip 5W-1H
"Maksudnya, Pak?"
"Orang bilang kita meras. Padahal jika mau mereka menggunakan otaknya untuk menyingkirkan sentimen, mereka akan ketemu sendiri jawabannya. Manusia seperti apa yang sering berpasrah tanpa berusaha. Ada anggota keluarga yang tenggelam, bukan bahu membahu menolong malah nunggu sampai jasadnya busuk dan ke pinggir. Itu melebihi setan, Nong".
"Mayat perempuan tadi?"
"Bapak ibunya sibuk kerja. Sementara putrinya malah terjerat obat hingga sakau lalu menceburkan diri."
"Seperti musibah ibu?"
BACA JUGA:Kembali ke Laut
BACA JUGA:Ibu Sambung
Pak Prehatin mengulum luka. Pikirannya melayang manakala saat sang istri tenggelam dan hanyut, dirinya hanya seorang diri mencebur ke sungai.
Mencari berjam sampai berhari-hari. Hal yang paling menyebalkan ialah bahwa manusia pada zaman ini telah mengalami degradasi simpati.