Defisit Kebudayaan: Sastra dalam Bayangan Pasar dan Prinsip 5W-1H
Fileski Walidha Tanjung -Fileski Walidha Tanjung -
BACA JUGA:Ibu Sambung
Ini bisa dilihat dalam penurunan apresiasi terhadap karya-karya sastra yang lebih mendalam, seperti yang terjadi pada karya-karya klasik Indonesia, misalnya Siti Nurbaya karya Marah Rusli atau Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka.
Kedua karya ini, meskipun dipenuhi dengan kritik sosial yang tajam dan kecerdasan narasi yang mendalam, sering kali dibaca hanya sebagai teks sejarah atau bahan pelajaran di sekolah.
Padahal, sastra-sastra klasik ini, sebagaimana disebutkan oleh M. H. Abrams dalam The Mirror and the Lamp, adalah cermin dari "kesadaran kolektif" sebuah bangsa, tempat nilai-nilai moral dan budaya dibangun.
Dalam Siti Nurbaya, misalnya, kita menemukan pertarungan antara cinta dan takdir, yang mencerminkan nilai-nilai sosial yang berlaku pada zamannya, tetapi masih relevan dibaca hingga saat ini.
BACA JUGA:GUBUK KECIL DAN RINTIK HUJAN
BACA JUGA:FATAMORGANA BRAVIA MANJIA
Dalam ranah sosiologis, keadaan ini lebih lanjut diperburuk dengan hadirnya kecenderungan materialisme yang merambah ke seluruh lapisan masyarakat.
Sastra, yang dahulu dipandang sebagai medium untuk membentuk karakter dan memelihara kesadaran kebudayaan, kini dihadapkan pada kenyataan bahwa ia hanya dihargai jika dapat memberikan hasil finansial. Hal ini tampak jelas pada perubahan cara pandang terhadap sastra dalam dunia pendidikan.
Ketika karya sastra menjadi sekadar objek ujian atau bahan pelajaran tanpa ada upaya untuk menggali makna dan dampaknya dalam kehidupan sosial, kita kehilangan potensi untuk membentuk masyarakat yang kritis dan reflektif.
Karya-karya sastra besar seperti Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, yang mengangkat isu sosial dan kolonialisme, menyajikan pandangan dunia yang begitu dalam dan kompleks.
BACA JUGA:Wanita yang Nglungsungi Seperti Ular
BACA JUGA:LELANANGE JAGAD MERINGKUK DI KOSAN
Namun, seringkali karya semacam ini hanya dihadirkan dalam konteks akademis, tanpa menyentuh aspek yang lebih luas dalam kehidupan sosial politik. Dalam hal ini, sastra telah menjadi sekadar komoditas akademik, bukan sebuah instrumen perubahan.
Pentingnya apresiasi terhadap sastra juga tercermin dalam cara kita menghargai estetika sebagai bagian dari kehidupan kita sehari-hari.