Resep ini pun ditiruh oleh masyarakat pribumi namun komposisi daging diganti dengan tulang dan jeroan, dari sinilah tercipta menu baru dari hasil kreasi dan kreativitas juru masak pribumi.
BACA JUGA:Pusing,Lemes Ketika Bangun Tidur,Ini Penyebab Dan Cara Mengatasinya
BACA JUGA:Tahukah Anda Mengisi Daya Smartphone di Motor Bikin Aki Cepat Soak? Simak Fakta Berikut Ini
Hal yang sama dapat kita temui pada kuliner yang bernama sate kere, sate dari bahan tempe gembus dan jeroan sapi punya kisah yang mirip.
Kuliner yang tak lagi dianggap kere atau murahan ini punya riwayat yang dekat dengan nasi petir dan perjuangan rakyat kelas bawah.
Jaman duluh diperkotaan besar jawa lazim ditemukan tempat penyembelihan hewan yang didirikan kolonial belanda bersama pengusaha lokal.
Demi menjaga kesehatan konsumen pengelolah penyembelihan hewan pantang menjual daging bercampur gajing atau saat itu disebut gemuk.
BACA JUGA:Kunci Masa Depan Bangsa, Perhatikan Tumbuh Kembang Anak
BACA JUGA:Dilantik, Kadis Dukcapil dan Sekdis Dikbud Bawa Semangat Baru
Oleh petugas pemotong hewan gajing atau gemuk disingkirkan, pribumi kecil pun menerima dengan senang hati gajing-ganjing tersebut.
Maklum alih-alih membayangkan menyantap sate ala kolonial dan elit bangsawan belanja daging pun mereka susah.
Dengan segenap kreativitas dan angan menyantap sate, bahan buangan tadi bersama tempe gembus diolah didapur rakyat kalah itu, hasil olahan orang kere ini pun disebut sabagi sate kere.
Meski dengan bahan berbeda tetapi namanya tetap sama sate. Dari kerja kreatif inilah justru melahirkan pelangi dimeja makan.
BACA JUGA:Berhasil Tuntaskan Serapan DD Tahap 1 Tahun 2024, Pemdes Tebing Kaning Gelar Monev
BACA JUGA:Selain Enak, Kacang Hijau Begitu Banyak Manfaatnya Untuk Kesehatan Tubuh.
Tak berbeda dengan sate kere, sebuah cerita menarik juga muncul terkait pemberian nama untuk hasil kreasi tersebut.