Dia tidak mampu lagi melanjutkan. Dia terdiam menatap nanap ke arah kepingan batu yang bertuliskan nama ayahnya. Sebuah nama yang ditinggalkan untuk anaknya.
Ayah hanya meninggalkan nama di atas lempengan prasasti yang ditatah dengan rapi tanpa sudi keluar menemui anaknya walau sejenak saja.
“Begitukah kau sebagai ayah?” Pikirnya. Adakah kehilafan anak remaja ini yang membuatmu sampai tidak sudi menemui?
Tak berselang lama, Dia menutup kembali bungkulan aksara itu dan menaruhnya di dalam sebuah tas punggung berwarna hitam. Pada waktu yang sama, anak remaja itu mengambil lembaran kertas lusuh dan sebuah pena bertinta merah.
BACA JUGA:Selamat dan Turut Memperingati Hari Bhakti ke 64, Tahukan Kamu Apa Adhyaksa.?
BACA JUGA:Kotak Rahasia Jessy
Dia ingin sekali menuliskan pesan kepada ayahnya sebelum kembali ke peraduan dan menjalani hari-hari seperti sedikala. Digerakkanlah pena dengan jari-jari mungil di atas selembar kertas.
Dia ingin mengadu sekaligus meminta jawaban atas kesusahan yang sedang menimpanya karena kini tak seorang pun yang dapat mengerti keadaanya.
“Aku sudah tumbuh menjadi seorang remaja yang tidak beruntung. Seorang yang terbiasa mengadu nasib atas berbagai kepenatan yang kutemukan di setiap langkah kaki yang terkadang tertatih-tatih, terkulai lemas. Aku adalah seorang remaja yang diramu oleh semesta menjadi seorang yang kerap berhadap-hadapan dengan kehilangan, kegagalan, kesepian dan air mata. Yang aku sesalkan, kenapa engkau memilih pergi meninggalkan anakmu tanpa sepucuk surat kabar tentangmu setelahnya. Engkau tanpa sudi kembali menemui anakmu yang malang ini. Engkau sungguh tega!”
Sekonyong-konyong guntur menderu di atas kepalanya. Kepulan awan hitam pekat datang dari arah utara.
BACA JUGA:Sangat Jarang Sekali Diketahui, Ternyata Daun Afrika Mampu Mengatasi Berbagai Penyakit
BACA JUGA:6 Browser Android Terbaik dan Terpopuler, Apakah Salah Satunya Anda Gunakan?
Tidak berselang lama, rintikan hujan turun menerpa lempeng batu yang bertulis nama ayahnya. Langit yang semulanya membiru dalam sekejap tertutup oleh kepulan awan hitam yang datang dengan tiba-tiba.
Bias-bias sinar matahari tidak punya kekuatan untuk menembus awan pekat yang menghalanginya. Begitulah gambaran takdir. Hidup dapat berubah kapan saja dan sewaktu-waktu dapat kembali seperti semula.
Akan tetapi, gambaran takdir tentang langit yang menghitam sementara itu tidak berlaku untuk anak remaja yang malang ini. Takdir keberuntungan belum saja datang menghampiri. Buktinya, ayahnya tidak kembali lagi dan kegetiran selalu hadir laksana dedauanan yang enggan berpisah dari tangkainya.
“Jika engkau tidak lagi sudi menemui anakmu ini, kapankah waktuku kembali sepertimu? Terbalut kain putih dengan tiga tali-temali yang mengikat tubuhku.