Para tetua desa memimpin upacara minum anggur bersama, nasihat diberikan tentang perjalanan dan rute serta pantangan yang harus diikuti dijelaskan.
Dan prosesi tersebut merupakan momen spesial yang penuh makna dan nuansa spiritual bagi para pesertanya.
Saat mendaki, yang bersangkutan seringkali ditemani oleh anak-anak atau kerabatnya. Destinasi wisata seringkali diwarnai oleh pemandangan alam yang indah yang memberikan mereka kesempatan untuk merefleksikan kehidupan dan keputusan yang telah mereka ambil.
BACA JUGA:Sudahkah Anda Berwisata Ke Maladewa? Negara Paling Indah di Dunia, 100℅ Penduduknya Beragama Islam
BACA JUGA:Dukung Pencegahan Penyakit, Pemdes Sendang Mulyo Gelar Penyuluhan Kesehatan
Konflik Moral dan Dampak Emosional
Tradisi Ubasuteyama tidak lepas dari konflik moral dan dampak emosional yang dialami oleh mereka yang terlibat.
Anak-anak yang membawa orang tuanya terkadang mengalami konflik internal, namun masih terpaksa harus memutuskan antara kewajiban keluarga dan kemanusiaan.
Di sisi lain, orang tua yang terjebak di gunung juga bisa merasakan rasa kehilangan karena terpisah dari keluarganya.
Konflik dan Perubahan Sosial
Selama dekade terakhir, praktik Ubasuteyama menjadi sangat kontroversial dan kurang umum.
BACA JUGA:Kada dan Dewan Terpilih, Mesti Prioritaskan Persoalan Eks Jalinbar
BACA JUGA:Perputaran Uang di MTQ Diperkirakan Lebih dari 8 Miliar
Perubahan dinamika sosial, peningkatan kesejahteraan ekonomi dan perubahan nilai-nilai sosial membuat banyak orang meninggalkan tradisi tersebut.
Di sisi lain, terdapat kemajuan menuju pemahaman dan rasa hormat yang lebih baik terhadap orang tua.
Namun, masih ada masyarakat yang melestarikan tradisi ini sebagai bentuk pelestarian budaya. Ada yang melihatnya sebagai ritual yang menghormati siklus alami kehidupan dan mewujudkan nilai-nilai pengorbanan dan ketergantungan.