“Lebih ke lagi main petak umpet di labirin sih; mainnya udah selesai, guenya masih kejebak.”
“Oh, girl, lagi juga kenapa lo baru cerita sekarang, Dis? Satu setengah tahun kalian pacaran dan gue pikir kalian baik-baik aja? Karena lo nggak pernah keliatan se-struggle itu ngadepin dia, jadi gue berusaha terima walau Aksa nggak keliatan sebaik itu.”
“Sorry, Kat,” sejak dari awal memang aku yang salah, “sorry.”
BACA JUGA:Gagalkan 0,5 Kg Sabu, Polda Tangkap 4 Tsk
BACA JUGA:Persoalan Banjir, WALHI Bengkulu: DAS Sedang Tidak Baik-Baik Saja
“Don’t say sorry to me, say it to yourself.”
Perempuan penyuka warna pastel di hadapanku ini adalah teman yang sudah bertahun-tahun ada di sampingku.
Aku merasa jahat pada Katia karena merahasiakan semua ini darinya. Aku tahu Katia akan merasa sedih kalau kuceritakan semuanya, jadi sebisa mungkin aku tak akan membuatnya khawatir.
Pun aku juga berpikir aku masih bisa handle semuanya sendirian.
Bayanganku memutar film dengan adegan manis dimana aku dan Aksara berhenti memainkan sandiwara hari kemarin dan menjalani hubungan dengan sungguh-sungguh; dengan sepenuh hati.
BACA JUGA: Jarang Diketahui 5 Manfaat Rebusan Kayu Manis
BACA JUGA:Berminat jadi PPS? Ini Tahapan dan Jadwal Lengkap Seleksinya
Pada akhirnya, selama apa pun aku menunggu, sekuat apa pun usahaku mendapat perhatiannya—adegan itu tak pernah terputar.
Semuanya masih sama. Aksara yang tak kumengerti inginnya, dan aku yang masih tetap mencintainya.
Aksara Pradipta dalam penglihatanku adalah laki-laki yang usianya lebih muda, dengan pembawaan yang juga masih jauh untuk dibilang dewasa.
Aksara duduk di bangku SMA tingkat akhir saat menyatakan perasaannya padaku.