BENGKULU RU - Di tengah gejolak ekonomi dan perubahan sosial yang melanda, para petani di Provinsi Bengkulu terpaksa menjual sawah dan ladang mereka demi menyekolahkan anak-anak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Fenomena ini menjadi sorotan utama karena menggambarkan kesulitan yang dihadapi petani dalam mempertahankan mata pencaharian tradisional mereka.
Ketua DPD HKTI Provinsi Bengkulu, Mohd. Gustiadi, S.Sos menyoroti permasalahan kompleks yang dihadapi petani.
"Salah satu isu utama adalah alih fungsi lahan yang semakin marak, dimana lahan-lahan pertanian beralih ke tangan non-petani untuk kepentingan investasi," ungkap pria yang akrab disapa Edi Tiger ini.
BACA JUGA:Kemendikbudristek dan Komisi X DPRI Bahas Ferienjob hingga Seleksi Guru ASN PPPK
BACA JUGA:Pondok Ramadhan SMAN 015 Bengkulu Utara, Pelopor Pembentukan Karakter SDM Unggul
Seperti, lanjut Edi Tiger, pembangunan perumahan atau pemukiman. Ini tentu menunjukkan adanya tekanan besar terhadap ruang pertanian.
"Hingga akhirnya memaksa petani untuk mencari sumber penghasilan alternatif," kata Edi Tiger yang saat ini juga tercatat sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bengkulu.
Menurut Edi Tiger, banyak petani padi yang saat ini merasa terjebak dalam lingkaran kemiskinan, dan ketidakpastian.
"Profesi sebagai petani padi tidak menjamin kehidupan yang sejahtera, terutama dengan fluktuasi harga gabah yang tidak stabil," ujar Edi Tiger.
BACA JUGA:Air Sungai Meluap Pascahujan Sekejap, Sinyal Kian Rusaknya Kualitas Hutan?
BACA JUGA:H-4 Diprediksi Jadi Puncak Arus Mudik 2024
Sebelum panen raya, sambung Edi Tiger, harga gabah bisa mencapai angka yang menguntungkan, namun menjelang panen raya, harga tersebut cenderung anjlok.
"Yang akhirnya meninggalkan petani dalam keadaan prihatin. Sebenarnya ini sebuah ironi," sesal Edi Tiger.
Lebih lanjut Edi mengemukakan, aksi protes terhadap pemerintah, terkait harga gabah yang rendah sebelum panen raya menjadi bukti ketidakpuasan pata petani.