Membabat hutan. Eksploitasi tambang besar-besaran, moda transprotasi hingga pabrik dengan batubara yang kian menambah polusi karena emisi, kian sesak bagi penduduk bumi.
Dalam Bahasa Indonesia, Junanta bilang, dirinya selama ini, ketika makan lebih menunggu makanan itu dingin terlebih dahulu. Tidak ugal-ugalan memakan pedas.
Dan satu hal: tidak mengkonsumsi gula berlebihan. Bahkan lebih sering menyeruput teh pahit.
"Amis nyak ayak. Tapi jarang. Teh pait, aki mah," sahut Oom, anak keempat Junanta yang masih berada di sebelahnya, sembari mengangkat rumput yang sudah disabit sang ayah.
BACA JUGA:Stabilitas Jalur Mudik Mendesak
BACA JUGA:HUT ke-305 Kota Bengkulu, Ini Harapan Pemprov Bengkulu
Ungkapan Oom itu direspon padu oleh Junanta. Ia mengangguk. Bermakna membenarkan. "Muhun," jawab Junanta yang berarti membenarkan.
Tips penting lainnya diungkap Junanta, saat kadung mencerita. Sembari dengan kembang-kembang cerita lawas, seperti kedatangannya di Provinsi Bengkulu pada 1962 dalam program transmigrasi.
Pria dengan perawakan tinggi, nyaris 2 meter itu, berujar selama muda dan hingga kini, dirinya saban pagi mengkonsumsi air putih, ketika bangun tidur. Air itu telah disiapkannya sejak sore.
Cara yang kemudian menjadi habit atau pola hidupnya itu, didapatkannya dari para tetua. Apalagi, Junanta muda doyan olahraga. Sepak bola yang digandrunginya.
BACA JUGA:Proyek Patung Pejuang dan Harimau di Bundaran Kota Disiapkan Rp900 Juta
BACA JUGA:BREAKING NEWS: Rumah dan Ruko di Terminal Desa Marga Sakti Terbakar
Perawakan tinggi jelang mendukungnya. Posisinya saat berlaga, pastinya menjaga gawang. Itu memang diakuinya.
"Nginum nak caik herang nu tiis. Nyien nak ti sorek," yang artinya "Minumnya air putih dingin yang telah disiapkan sejak sore hari," beber Junanta.
Tips tersebeut, kata dia, didapatkannya dari tetua dulu, soal ikhtiar umur panjang. "Ilmunak nyak ti kolot," ilmu itu yang dari orang tua dulu. (*)