“Ibu kesal dengar ibu-ibu di jamiyah menjelek-jelekkan kamu,” katanya suatu sore.
“Biarin saja, Bu,” jawabku santai sambil menyeruput kopi.
BACA JUGA:MALING KONDANG
BACA JUGA:Mendoakan Kematian?
“Ya nggak bisa! Ibu kan harus membela anaknya,” tegasnya.
Aku tersenyum. Sebenarnya aku pernah jatuh cinta, bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Namun, entah mengapa, semuanya selalu berakhir sebelum dimulai.
Cinta pertamaku adalah Erin, teman sekelas di SMA. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama, sesuatu yang tidak pernah aku percaya sebelum itu.
Saat hari pertama masuk sekolah, dia masuk ke kelas dengan senyum yang menghangatkan ruangan. Namun, sebelum aku sempat mendekat, seorang teman lain sudah lebih dulu bergerak dan berhasil memacarinya.
Meski begitu, aku tetap menyimpan rasa. Setelah dia lulus, aku tahu dia putus dengan pacarnya, dan aku mencoba mendekatinya. Namun, Erin yang cuek membuat usahaku gagal sebelum sempat dimulai. Lambat laun, rasa itu memudar, berganti menjadi kenangan manis yang tak terlalu menyakitkan.
BACA JUGA:Tirani Biru dan Isinya yang Terbelenggu
BACA JUGA:Dendam Seorang Perempuan
Cerita berikutnya adalah Shania, teman SMP-ku yang pintar dan ambisius. Aku pernah menjadi saingannya dalam akademik. Shania sering terlihat serius belajar di perpustakaan, dan aku berusaha keras untuk menyainginya. Bahkan, aku pernah sekali menggantikan posisinya sebagai peringkat pertama paralel.
Ibu sering menyebut Shania sebagai calon pasangan ideal. Katanya, Shania sopan, pintar, dan sering mampir ke kafe untuk menanyakan kabarku. Tapi aku tahu dari media sosial bahwa dia sudah memiliki pacar, bahkan kabarnya akan segera menikah. Meski begitu, setiap kali ibu membicarakannya, ada perasaan hangat yang muncul di hatiku.
Cinta lainnya adalah Gita, seorang pecinta buku yang selalu mendukung karyaku. Aku sering mengirimkan buku-buku favoritku padanya, mulai dari Pramoedya hingga Chairil Anwar. Setiap kali aku menerbitkan buku baru, dia selalu jadi pembeli pertama.
Suatu hari, aku ditugaskan meliput kegiatan di Surabaya. Selepas liputan, aku berencana mengajaknya bertemu di Tunjungan. Namun, rencanaku kacau karena Zaldi dan dua temanku, Triono dan Tiwus, memaksa ikut.
BACA JUGA:MALING KONDANG