BACA JUGA:Mendoakan Kematian?
“Tenang saja, kami cuma jadi pengawal. Tidak akan ganggu rencanamu nembak dia,” ujar Zaldi dengan senyum usil.
Namun, semua berubah ketika Gita tidak muncul tepat waktu. Saat aku hampir putus asa, Zaldi menepuk bahuku dan menunjuk ke seberang jalan.
“Itu dia, kan? Tapi... dia gandengan sama cowok.”
Seketika dunia terasa berhenti. Benar, itu Gita, dan laki-laki itu dikenalkannya sebagai pacarnya, Rifqi. Hatiku hancur, tetapi aku mencoba menyembunyikannya. Teman-temanku menamai kejadian itu “Tragedi Tunjungan”. Meski memalukan, aku bersyukur mereka menyimpannya sebagai rahasia kami.
BACA JUGA:Tirani Biru dan Isinya yang Terbelenggu
BACA JUGA:Dendam Seorang Perempuan
Kemudian adalah cinta tanpa nama. Aku sering melihat seorang perempuan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Dia kerap datang sendiri, tenggelam dalam buku-buku sastra. Setiap kali melihatnya, hatiku berdebar.
Suatu hari, aku memberanikan diri duduk di dekatnya. Kami berbicara tentang sastra, buku favorit, hingga penulis yang kami kagumi. Percakapan itu mengalir begitu saja. Sebelum berpisah, aku mencoba menanyakan namanya.
“Rahasia,” katanya sambil tersenyum. “Kamu?”
“Rahasia juga,” jawabku, ikut tersenyum.
Itulah pertemuan terakhir kami. Dia tidak pernah datang lagi ke PDS HB Jassin. Aku mencoba mencarinya, tapi selalu gagal.
BACA JUGA:MALING KONDANG
BACA JUGA:Mendoakan Kematian?
Beberapa bulan kemudian, aku bertemu dengannya di kereta dari Klaten ke Yogyakarta. Dia duduk di sampingku, tampak asyik membaca buku, tidak menyadari kehadiranku.
“Hai, Rahasia,” sapaku pelan.