Dia menoleh, terkejut, lalu tersenyum. “Hai, Rahasia juga. Sudah lama tidak bertemu.”
Kami berbincang seperti teman lama yang tak sengaja bertemu kembali. Namun, percakapan kami tiba-tiba berubah.
“Kamu sudah menikah?” tanyanya tiba-tiba.
BACA JUGA:Tirani Biru dan Isinya yang Terbelenggu
BACA JUGA:Dendam Seorang Perempuan
Aku tertawa kecil. “Pertanyaan macam apa itu?”
“Pacarku adalah buku,” jawabku santai.
Dia tersenyum, tetapi matanya terlihat sayu. Lalu, dengan suara pelan, dia berkata, “Sebenarnya aku pernah menitipkan surat untukmu lewat kawanku. Tapi mungkin surat itu tak pernah sampai. Aku pikir kamu tidak tertarik, jadi aku berhenti datang.”
Kata-katanya membuat dadaku sesak. Sebelum aku sempat menjawab, dia menambahkan, “Aku sudah menikah. Sebulan yang lalu.”
Kereta berhenti di Klaten. Aku segera mengambil tasku dan turun, meski tujuanku sebenarnya Yogyakarta. Aku berjalan tanpa arah, mencoba mengumpulkan serpihan hati yang baru saja hancur.
BACA JUGA:MALING KONDANG
BACA JUGA:Mendoakan Kematian?
Kini, aku duduk sendirian di lantai tiga kafe, ditemani aroma buku dan kopi. Cinta-cinta itu memang berlalu, tapi meninggalkan jejak yang tak mungkin kulupakan.
Mungkin aku terlalu sibuk dengan mimpi-mimpiku hingga lupa memberi ruang untuk cinta. Atau mungkin, cinta memang bukan untukku. Yang pasti, setiap cerita itu tetap hidup dalam ingatanku, mengajarkan banyak hal tentang rasa, keberanian, dan kehilangan.
Dan di balik semua itu, aku masih percaya, suatu saat cinta yang sejati akan menemukan jalannya. Hingga saat itu tiba, aku akan terus menulis.
Penulis