
Kata itu terasa begitu jauh, begitu asing, di tengah kehidupan kami yang penuh keputusasaan.
Kami hanyalah anak-anak yang terlupakan, tanpa nama, tanpa identitas, tanpa keluarga. Setiap malam, kami meringkuk di antara kardus-kardus yang basah dan dingin, menggigil hebat menahan dingin dan lapar yang menyiksa.
"Dingin sekali," ucap Wuri, memeluk erat tubuhnya.
BACA JUGA:Belajar dari Sang Gagak
BACA JUGA:Belenggu Sistem
Kami saling berpelukan, berbagi sedikit makanan yang berhasil kami kumpulkan, saling menguatkan, satu sama lain menjadi sandaran dalam menghadapi kegelapan dan keputusasaan.
"Kita harus kuat," kata Ramadhan, mencoba menyemangati teman-temannya. "Kita bisa melalui ini bersama."
Kami belajar untuk bertahan hidup, berjuang melawan rasa lapar, dingin, dan kepedihan yang terus menerus menghantam kami, di tengah lingkungan yang kotor, kumuh, dan penuh bahaya.
Hingga suatu hari, secercah harapan muncul. Bapak Ambu dan Ibu Margaretha, sepasang peneliti kelautan dari Flores, melihat kami, anak-anak terlantar yang hidup di antara tumpukan sampah di pinggir Kali Ciliwung.
"Mereka anak-anak yang malang," kata Ibu Margaretha, merasa iba.
BACA JUGA:Cecep Ingin Menjadi Kaya
BACA JUGA:Ibu, Pematang Sawah dan Cerita Seorang Gadis
Bapak Ambu mengangguk setuju. "Kita harus membantu mereka."
Mereka mengulurkan tangan, menyelamatkan kami dari jurang keputusasaan. Rumah Matahari, itulah nama yang mereka berikan pada rumah sederhana mereka yang menjadi tempat perlindungan kami, jauh dari hiruk pikuk dan bau busuk kota Jakarta.
"Terima kasih," ucap Ramadhan, air mata berlinang, saat pertama kali merasakan kehangatan dan kasih sayang di Rumah Matahari. Di sana, kami mendapatkan makanan yang cukup, pakaian yang layak, dan yang terpenting, kasih sayang yang selama ini kami rindukan.
Namun, kenangan akan masa lalu, masa-masa kelam kami berjuang melawan kelaparan dan keputusasaan di jalanan Jakarta, tetap terukir dalam benak kami.