"Sumpah, Pak. Bukan saya! Sumpah pistol itu saya tak tahu! Ampuni saya, Pak!"
"Jelaskan di kantor, Pak"
"Tapi benar, Pak. Saya bukan pelakunya. Duh gusti, ampuni saya, Pak. Saya mohon!!! Saya mohon!!!!! Tolong, Pak!" ucap Pak Prehatin menggelijang dan menangis. Tidak lain dan bukan sekarang yang ada dalam pikiran Pak Prehatin hanyalah nasib Kinong.
"Jangan dengarkan, Pak. Pembunuh!!! Cepat cek sidik jarinya, pasti cocok dengan pistol dan koper itu! Dialah yang merampok suami saya saat pulang kerja! Saya yakin jika tidak dapat info dari warga tentang lokasinya sekarang, jasad suami saya pasti bakal dipotong-potong untuk hilangkan jejak, Pak!" urai istri alm. Pak Birma tersengal-sengal.
BACA JUGA:Celurit Matrah
BACA JUGA:Defisit Kebudayaan: Sastra dalam Bayangan Pasar dan Prinsip 5W-1H
"Tapi sungguh bukan saayy..."
"Halah!!!....Dugggg!!!!!!" sebuah sapuan kaki terukur dari satu anak alm. Pak Birma itu tepat mengenai rahang Pak Prehatin. Dia pun terhentak ke pinggir dan merasakan ngilu berat yang sangat dalam.
"Cukup! Jangan main hakim sendiri!" sergah Komandan Surya yang langsung cepat mengamankan Pak Prehatin.
Dengan diborgol dan dikawal, Polisi menggiring Pak Prehatin menuju pinggir jalan raya untuk masuk ke mobil tahanan.
Sementara itu keluarga alm. Pak Birma juga mengekor di belakang dengan menyembunyikan mata dan senyum penuh intrik dan skandal.
Berjalan menepi dan berkelok, Pak Prehatin hanya menatap aliran sungai.
BACA JUGA:Kembali ke Laut
BACA JUGA:Ibu Sambung
Seolah sungai itu berbisik kepadanya, mata Pak Prehatin sembab hangat mengingat kenangan kelam di sungai itu. Langkah mereka mendekati undakan bendungan dan berusaha naik menuju jalan raya.
"Bapak!!!!!!!!!" teriak Kinong dari siletan jalan dengan tangan kanan melingkari bola.