Cerpen : Nur Imaniyah Purnama
Tergambar kepanikan wajahmu dan suamimu. Suara orang yang mendatangimu terus saja meninggi meski anak-anakmu sudah menyuruhnya untuk lebih lirih.
Celurit ditangan kanan orang asing itu siap menerkammu dan suamimu kapan saja. Kamu tidak perlu merahasiakannya lagi, biarlah semua orang tahu bahwa ajalmu tiba sebentar lagi.
Rumah pacenan yang menjadi tempat tinggalmu dan suamimu itu bak arena sabung ayam kala orang tak dikenal datang dan ingin membunuhmu.
Anak cucumu sudah bersila dengan wajah penuh protes pada orang tak dikenal itu, rumahmu kini seperti lapangan kerapan sapi yang siap menghadirkan pertunjukan luar biasa. Perangkat desa berdatangan dengan sarung tersampir separuh dipundak seperti hansip di pos ronda.
BACA JUGA:Defisit Kebudayaan: Sastra dalam Bayangan Pasar dan Prinsip 5W-1H
BACA JUGA:Kembali ke Laut
“Katanya Ratih yang mengkambing hitam kedua keluarga itu”.
“Kasian keh Sam sudah sepuh ada aja masalah dengan menantunya”.
“Menantu gak tau diri ya gitu, untung dapet mertua seperti keh Sam dan Bu’ Sam”.
“Kalo dapat menantu kerabat sendiri pasti ada aja masalahnya”.
Percakapan tetangga pun tak terdengar ditelingamu saking kerasnya suara Matrah di dalam rumah, di hadapan aparat desa Matrah masih bersikeras untuk membunuh dua orang yang kini tengah duduk berdampingan ditemani anak cucu serta isak tangis cucu perempuan kesayanganmu.
BACA JUGA:Ibu Sambung
BACA JUGA:FATAMORGANA BRAVIA MANJIA
“Sudah aku bilang berkali-kali bu, jangan jodohkan kakak dengan ponakan Ibu. Sekarang Ibu lihat apa yang dilakukan keponakan Ibu itu”. Ucap anak bungsumu dengan air mata yang terus mengalir dipipi tirusnya.
“Ini hanya kesalahpahaman, kau tidak perlu menasehati ku seperti itu”.