BACA JUGA:Anak Sekolah Dasar yang Mati Tak Berdasar
Mungkin kamu lupa. Delapan tahun lalu Ratih memberimu nasi yang sudah berair dan berbau sebagai sarapan sebelum berangkat ketegalan.
Kamu memakannya dengan lahap seperti orang kelaparan yang sudah lama tak diberi makan. Sebegitukah kamu menghargai menantumu? Padahal dulu sebelum menantumu datang, kamu sering memberikan nasi yang serupa bubur itu pada ayam ternakmu di waktu pagi sebelum kau berangkat ketegalan, lalu sekarang apa bedanya dirimu dengan ayam itu?
“Sampean buang saja nasi itu biar aku ambilkan yang baru di rumah” ucap Maryati.
“Biarlah yang penting perutku keisi pagi ini”.
BACA JUGA:Defisit Kebudayaan: Sastra dalam Bayangan Pasar dan Prinsip 5W-1H
BACA JUGA:Kembali ke Laut
Maryati hanya bisa menggeleng, sungguh rasa sabarmu sangatlah luas. Kau sangat menghargai perasaan menantumu sedangkan menantumu? dia tidak pernah menghargaimu! pernah suatu hari Maryati menemuimu sedang mengorek sampah di tengah perreng.
“Apa yang sedang Sampean cari Nyah?” tanya Maryati dan kau menjawab sedang mencari kertas yang tak sengaja kau buang saat membersihkan kamar menantumu. Maryati sedikit tercengang bukankah menantu yang sepatutnya membersihkan rumah? apalagi dia menumpang di rumah mertua.
“Kenapa Sampean mau disuruh Ratih? sudahlah pulang saja kalau dia memarahi Sampean biar aku yang membantahnya” Maryati sedikit kesal dengan tingkah menantumu itu.
“Biarlah, aku tidak mau ada masalah. Lagi pula aku tidak enak memarahinya, dia anak kakakku dan istri anakku”.
BACA JUGA:Ibu Sambung
BACA JUGA:FATAMORGANA BRAVIA MANJIA
Kamu terus saja mengalah hingga membuat menantumu semakin semen-mena kepadamu dan suamimu. Seperti saat ini, suara keras Matrah berhasil mengundang banyak orang untuk hadir di rumah pacenan yang menghadap ke utara itu.
“Apa alasanmu datang kesini?” tanya kepala desa.
“Dulla yang memintaku kesini, dia mau keh Sam dan bu’ Sam mati dengan celuritku” dengan mata merahnya Matrah menunjuk keh Sam dan bu’ Sam.