Momentum Ramadan Pacu Pertumbuhan Ekonomi
Pedagang melayani pembeli makanan untuk buka puasa (takjil) di Pasar Takjil Ramadan, Kota Ternate, Maluku Utara. Saat Ramadan kebutuhan konsumen menguat akan menyumbang 50 persen lebih pada PDB. ANTARA FOTO/ Andri Saputra--
Begitu juga dengan prakiraan konsumen terhadap ketersediaan lapangan kerja pada enam bulan mendatang terpantau tetap berada pada area optimis dan meningkat pada sebagian tingkat pendidikan.
Berdasarkan kelompok usia, peningkatan Indeks Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja terutama terjadi pada kelompok usia 31-40 tahun.
BACA JUGA:Mengendalikan Harga Beras di Bulan Ramadan
BACA JUGA:Kemilau Perhiasan Indonesia Mendunia
"Di sisi lain, ekspektasi konsumen terhadap perkembangan kegiatan usaha ke depan terpantau berada dalam zona optimis pada seluruh tingkat pengeluaran dan usia responden," tutur Erwin.
Dalam satu kesempatan, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyampaikan bahwa IKK yang berada di atas 100 mengindikasikan masyarakat tetap optimistis terhadap kondisi ekonomi dan kegiatan konsumsi akan terus berlanjut.
Berdasarkan sejumlah indikator itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih memiliki peluang untuk tumbuh di atas level 5 persen sejalan dengan konsumsi yang tetap kuat, terutama pada kuartal pertama 2024 terdapat momentum Ramadan.
“Maret 2024 sudah memasuki Ramadan di mana biasanya secara musiman konsumsi akan menguat sehingga akan menopang konsumsi rumah tangga yang menyumbang 50 persen lebih pada PDB,” ujarnya.
BACA JUGA:Mengenal Aturan Baru PLTS Atap
BACA JUGA: Gasifikasi Pembangkit Listrik Menuju Bebas Emisi Karbon
Di sisi lain, Josua mengatakan, IKK Februari 2024 yang cenderung menurun, terutama disebabkan oleh penurunan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) menjadi 110,9, perlu diantisipasi.
Ini penyebabnya IKE tercatat turun pada seluruh indeks, di antaranya indeks penghasilan saat ini, indeks ketersediaan lapangan kerja, dan indeks pembelian barang tahan lama.
Kondisi ini, menurutnya, dipengaruhi oleh faktor inflasi pangan yang terus meningkat. Selain itu, kenaikan gaji yang lebih rendah dari inflasi pangan dan adanya penerapan pajak penghasilan baru, yaitu tarif efektif rata-rata (TER) PPh 21 menyebabkan penghasilan terasa berkurang.
“Berkurangnya pembelian durable goods yang merupakan jenis barang sekunder dan tersier juga wajar karena pangan merupakan barang primer yang jika harganya naik maka konsumen akan mengorbankan pembelian barang jenis lainnya,” jelas Josua.