Bandar-bandar Tua dan Kronik Sejarah
Ilustrasi situasi pelabuhan Banda Aceh. - Dok. Kemendikbud-
BACA JUGA:PK Diteken, ASN DPK Bengkulu Diminta Mengimplementasikan
BACA JUGA:Sirekap Error, Suara Caleg PDIP dan Gerindra di TPS 04 Talang Arah Hilang
Secara geografis bandar ini sebenarnya sangat ideal bagi sebuah pelabuhan.
Pasalnya, selain terletak di sebuah teluk, tempat bermuaranya sungai, juga nisbi terlindung dari angin dan gelombang ombak besar. Di depannya terdapat tiga buah pulau.
Tetapi justru pulau-pulau itu sangat mengganggu pelayaran masuk menuju bandar tua itu.
Sejarawan Belanda, de Graaf, pernah mendapat pengalaman yang kurang menyenangkan ketika hendak mendarat ke Aceh, setelah pelayarannya dari Malaka.
Kapal yang ditumpanginya kandas di perairan Aceh. Graaf mencatat kisah itu:
BACA JUGA: Mau jadi Sultan! Ini 4 Cara Menabung Emas Fisik yang Dapat Anda Lakukan
BACA JUGA:Industri Pengolahan Penopang Ekonomi Nasional
“Adapun kami yang berlayar dengan kapal Dragon itu, saat menuju Kerajaan Aceh, tetapi kapal kami kandas di karang-karang Pouloway, tetapi kami dapat menyelamatkan diri dengan perahu kami dan berdayung masuk ke Sungai Aceh. Waktu kemudian kami hendak kembali ke Batavia, nyaris celaka lagi.”
Mudah diduga, kata Pouloway yang disebutkan oleh de Graaf tentu merujuk pada keberadaan Pulau We yang berada di sisi utara Banda Aceh di Pulau Sumatra.
Bandar Padang
Sumatra Barat, khususnya di Kota Padang terdapat dua badar laut. Yang pertama terletak di muara Sungai Batang Arau, yaitu Bandar Muaro, sedangkan yang kedua terletak di Teluk Bayur, yaitu Bandar Emmahaven.
BACA JUGA:Mendorong Produk Pangan UMKM Berkualitas
BACA JUGA: 7 Caleg Incumbent Pertahankan Kursi, 4 Wajah Baru Muncul di Dapil 4 Bengkulu Utara