Gaya Kepemimpinan Dedi Mulyadi, Visioner atau Sekadar Pencitraan?
Gaya Kepemimpinan Dedi Mulyadi, Visioner atau Sekadar Pencitraan?-Tangkapan Layar dari channel YouTube @kompastv-
RADARUTARA.BACAKORAN.CO - Gaya kepemimpinan atau personal branding Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat yang dikenal dengan sapaan Kang Dedi Mulyadi (KDM), tengah menjadi bahan perbincangan publik. Efek kejutannya menjadi populer. Efek jangka panjang, akan menjadi pertaruhan di momen politik mendatang.
Sikap dan pendekatannya yang dinilai “merakyat” mengundang berbagai reaksi dari masyarakat dan pengamat politik, sebagian mengapresiasi. Tak sedikit pula yang mengkritik.
Personal branding di dunia kerja, turut diungkap Kementerian Keuangan (Keuangan) via situs Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Laman kementerian yang dikomandoi Sri Mulyani menjelaskan, proses pembentukan persepsi masyarakat terhadap diri seseorang.
Dengan kata lain, proses ini meliputi pembentukan citra diri atau persepsi positif di masyarakat meliputi kepribadian, kemampuan lainnya yang membentuk persepsi positif di masyarakat.
Unggahan DJKN itu, menyitir pandangan Lai, Sullivan dan Cheney, 2005:35, dalam Mcnally & speak: 2002.
Fenomena ini pun membangkitkan perbandingan dengan gaya Presiden ke-7 RI, Joko Widodo di masa awal kepemimpinannya.
Menurut Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, KDM dianggap oleh sebagian kalangan sebagai sosok pemimpin yang memahami denyut nadi rakyat.
Ia kerap turun langsung ke lapangan, mendengar aspirasi masyarakat dan langsung mengambil kebijakan di tempat. Pendekatan ini dipandang sebagai bentuk kepemimpinan yang cepat tanggap dan efektif.
BACA JUGA:Dedi Mulyadi Barbur Duit, Persib Dikasih Rp 1 Milyar, Ada yang Janggal? Ini Kocek KDM Versi LHKPN
“Bagi kelompok masyarakat yang mendukung, pemimpin ideal adalah yang dekat dengan rakyat dan mampu mengambil keputusan tanpa birokrasi yang berbelit,” ujar Jamiluddin, Senin, 5 Mei 2025.
Namun, narasi yang berbeda muncul dari pihak yang bersikap kritis. Mereka menilai bahwa keputusan yang diambil secara spontan di lapangan bisa saja kurang melalui kajian yang matang.
Akibatnya, kebijakan yang lahir bersifat jangka pendek dan berisiko memunculkan masalah baru dalam jangka panjang. Menurut Jamiluddin, dalam dunia pemerintahan, setiap kebijakan sebaiknya didasari oleh analisis komprehensif yang mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Ia menilai bahwa pendekatan instan seperti yang dilakukan KDM berpotensi menjadi solusi parsial yang memuaskan publik secara sementara, namun tidak menyentuh akar masalah secara mendalam.
“Gaya seperti ini memang dapat meningkatkan popularitas dalam waktu singkat. Tapi dalam jangka panjang, masyarakat bisa merasa dikecewakan bila hasilnya tidak berkelanjutan,” lanjutnya, menganalisa.