ARGA MAKMUR RU - Situs sejarah yang menjadi jejak aktivitas lampau, merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan untuk menjadi penyuplai pendapatan desa atau kelurahan. Di tengah fakta, rerata desa di Kabupaten Bengkulu Utara (BU), masih disokong penuh transferan dana desa dari APBN dan Alokasi Dana Desa serta Bagi Hasil Pajak dan Retribusi (BHPR) yang bersumber dari APBD. Ditambah lagi, keberadaan BUMDes, juga masih belum mampu memberikan daya ungkit untuk menambah pundi-pundi desa saban tahunnya.
Yuridis formal rancang bangun sektor kepariwisataan, juga telah dimiliki daerah ini. Diketuk palu dasar hukum daerahnya tahun lalu oleh DPRD bersama eksekutif. Saat itu, via pemrakarsanya Dinas Pariwisata, mengusulkan revisi produk hukum daerah kali pertama yang menjadi Perda Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten Bengkulu Utara (Ripparkab) Tahun 2022-2026. Ketua Bapemperda DPRD Bengkulu Utara, Tommi Sitompul, S.Sos, yang turut menjadi pembicara dalam Uji Publik revisi Riparda 2017-2021 saat itu. Saat di tahapan pembahasan naskah akademik atas produk hukum daerah bersama dengan Kantor Wilayah Kemenkumham, Universitas dan Dinas Pariwisata selaku Pemrakarsa Produk Hukum untuk 4 tahun kedepan itu. "Riparkab ini menjadi legacy bagi daerah dan trust pusat sampai dengan swasta, dalam memandang komitmen pemerintah daerah di sektor pariwisata," kata Tommi. Maka menjadi penting, kata politisi Golkar ini. Produk hukum itu dikonsolidasikan bersama dengan pemerintah desa dan kelurahan, untuk membangun segmentasi kepariwisataan di daerah. Kolaborasi lintas pemerintahan ini, menjadi sangat penting. BACA JUGA: 6 Bulan Berobat di Jabar, Sembuh & Kembali ke Bengkulu Utara Tinggal lagi, kata dia, adalah desain besar pembangunan wisata di daerah ini perlu benar-benar, dibangun dengan melihat eksotisme, faktor penunjang termasuk juga adalah jejak-jejak cerita masa lampau. "Maka ekonomi berbasis wisata dan situs sejarah ini, tidak hanya menjadi kantung-kantung pemberdayaan. Tapi juga, motor wisata edukatif. Jasmerah. Jangan melupakan sejarah," serunya, menegas. Selaras dengan legislatif, Wakil Bupati BU, Arie Septia Adinata, SE, MAP, juga menyampaikan Riparda menjadi dasar regulasi dalam pembangunan kepariwisataan daerah. Beleid ini, kata Arie, memiliki potensi yang sangat tinggi. Pariwisata, kata dia, tidak hanya sebatas ikon, tapi juga dapat menjadi sumber pendapatan daerah yang pelaksanannya bersinggungan langsung dengan masyarakat. Sehingga rancang bangun programnya harus turut mempertimbangkan semangat pemberdayaan. "Maka banyak potensi yang dapat digali, menjadi sentra jujugan masyarakat dari dalam dan luar daerah. Rancang bangunnya, tentu diawali dengan kepastian sikap yang diimplementasikan dalam sebuah produk hukum sebagai bentuk komitmen dari sisi yuridis formal," ujarnya. Dengan periodisasi yang relatif panjang, politisi PDIP itu memiliki optimisme tingginya, Ripparkab bakal menjadi trust pusat pula kepada daerah. Dengan komitmen tinggi di sektor regulasi ini, sudah menjadi parameter yang sangat terukur, tentang bagaimana komitmen daerah dalam melaksanakan pembangunan di segala sektor, dibarengi dengan langkah-langkah fundamental di sektor landasan hukum. Sehingga penyelenggaraan pembangunan yang berkepastian hukum, tidak sebatas slogan. Tapi benar-benar terwujud dengan rancang bangun dengan indikator-indikator yang lebih terukur. "Kita juga berharap, komitmen di sektor hukum ini menjadi referensi pusat sehingga berimplikasi pada dukungan fiskal yang masih menjadi persoalan di daerah," terangnya. "Sinergi pemerintah pusat, daerah dan desa," bukan sebuah keniscayaan," susulnya lagi menegas. Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) BU, Margono, S.Pd, menilai. Desa kedepan harus memiliki proyeksi yang memungkinkan untuk menjadi pemasok fiskalnya. Sedangkan dana desa, kata dia, merupakan program yang didasarkan pada penyelenggaraan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang penyelenggaraannya pun sangat bergantung dengan politik pusat. "Sedangkan potensi desa, memiliki faktor yang mendukung gerak dalam rancang bangun desa yang jauh lebih otonom," ujarnya, kemarin. Pengembangan sektor-sektor potensial, sampai dengan menggali keberadaan jejak sejarah atau situs sejarah yang notabene berada di wilayah administratif desa. Sangat mungkin dapat dikelola secara mandiri. Pengelolaan atau kemampuan merangkum potensi khas dan sejarah itu. Kata Margono, tidak hanya sebatas menjadi pundi fiskal yang dapat memberikan keluluasaan desa dalam mengelolanya, dengan tetap menjunjung tinggi transparansi anggaran dan berakuntabilitas. BACA JUGA:Sigap Bencana, Dinsos Gelar Pemantapan Kesiapsiagaan Tagana "Akan ada 2 hal penting. Pertama adalah menjadi segmentasi khas desa serta mampu menjadi spot edukatif kepada masyarakat dan pengunjung," terangnya. Menuju satu dasawarsa dana desa ini, Margono juga mengharapkan penyelenggaraan dana desa dan alokasi dana desa sendiri. Harus menjadi sebuah jawaban dari segala pertanyaan, tentang bagaimana menumbuhkan basis-basis ekonomi yang merata di Indonesia. "Basis ekonomi ini dapat dibuat, ketika pembangunan dilakukan berdasarkan analisa dan kajian serta memiliki visi dan misi yang adaptif serta mampu menggali potensi yang belum tergali," pungkasnya. (adv)
Kategori :