RADARUTARA.BACAKORAN.CO - "Ma, alhamdulillah saya selamat," itulah penggalan kalimat terakhir yang dikenang seorang ibu di Kota Bengkulu. Anaknya hingga kini hilang, dihempas dahsyatnya ombak tsunami laut Aceh yang meninggalkan kedukaan negeri hampir 2 dasawarsa silam.
Kisah itu, tercerita oleh seorang sejawat almarhum, Mahdi Singarimbun. Sembari mendongakkan wajah, Ucok, begitu pria batak ini disapa, menggarisbawahi pentingnya mitigasi kebencanaan.
Ingatan pilu itu, diceritakan Ucok, sesaat dirinya bersama dengan rekan seangkatan kuliah almarhum, saat itu, menjujug rumah duka di sekitaran Kebun Geran, Kota Bengkulu.
Keping cerita singkat ibu korban, seolah membawanya dalam situasi dahsyat dan mencekam yang berjarak 1.472 kilometer nun jauh disana.
BACA JUGA:BPBD Susun Draf Dokumen Kontijensi Bencana Gempa dan Tsunami
BACA JUGA: Penyusunan Dokumen Kontijensi Bencana Gempa dan Tsunami Libatkan BNPB
Di Kota Banda Aceh pada 26 Desember 2004, sesuai gempa tektonik dengan magnitudo 9,2 skala richter yang menelan 283.106 jiwa.
Mendengar cerita Ucok, praktis membawa pada memoar jejak amukan ombak laut ganas yang dalam banyak literatur, menceritakan puncak tertingginya tsunami pasca guncangan gempa yang mencapai 34,5 meter di Pantai Lhoknga, Aceh Besar.
Sebenarnya, 12 tahun sebelum gempa bumi dahsyat mengguncang Aceh dan disusul tsunami, kejadian serupa pernah melanda Indonesia, tepatnya di wilayah Flores, Timur Indonesia, pada tahun 1992.
"Jadi kalau mengingat kejadian itu, memang kita harus belajar secara serius dengan kejadian-kejadian lampau. Pengalaman adalah pelajaran," ungkapnya, menganalisa dalam pandangan awamnya.
BACA JUGA:Mukomuko Susun Rencana Kontinjensi Bencana Gempa dan Tsunami
BACA JUGA:BPBD Susun Dokumen Kontinjensi Hadapi Bencana Gempa dan Tsunami
Tapi apa yang lontarkan Ucok, benar adanya. Karena mitigasi kebencanaan di Indonesia, khususnya sektor gempa dan tsunami, baru dilakukan secara massif oleh pemerintah, sejak kejadian gempa dan tsunami Aceh.
Ketidaktahuan masyarakat, menjadi pangkal persoalan yang diduga Ucok menjadi benang merah permasalahan sosial di negeri yang secara nyata berada di jalur cincin api dunia. Ring of fire.
"Karena saat itu kawan nih, nelpon keluarganya dari pinggir pantai. Ngomong, kalau dirinya baik-baik saja dan selamat. Tapi, tidak lama kemudian, sambungan telepon pun terputus. Itulah sapuan tsunami," ungkapnya, sembari mengusap-ngusap jidatnya, mengekspresikan kengerian di Aceh saat itu.