RADARUTARA.BACAKORAN.CO - Tradisi yang bisa menjadi bagian dari kearifan lokal tiga desa, idealnya bisa menjadi agenda resmi daerah di Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu.
Aktivitas tahunan tiga desa nelayan yakni Pasar Palik, Lubuk Tanjung dan Pasar Lais ini, selalu diselenggarakan saban tanggal 12 hingga 13 Muharam.
Ketua Asosiasi Nelayan Tradisional Provinsi Bengkulu Sektor Bengkulu Utara, Rusman, saat dibincangi media, menilai aktivitas sosial masyarakat ini, sebenarnya layak menjadi bagian dari agenda resmi daerah.
"Karena ini bisa menjadi bagian dari kearifan lokal yang ada di Bengkulu Utara dan khas," ujarnya, Sabtu, 20 Juli 2024.
BACA JUGA:Askab PSSI Mukomuko Dipimpin Weri Tri Kusumaria
BACA JUGA:BKD Maksimalkan Potensi Pajak Air Bawah Tanah Milik Perusahaan
Dia menyampaikan, bagi pihaknya yang lahir sebagai anak nelayan tradisional, secara turun temurun telah menyaksikan dan kini menjadi pelestari tinggalan warisan leluhur.
Acara tahunan ini, kata Rusman, dinamai dengan sedekah laut. Adapula prosesi "setawar sedingin" dalam acara yang puncaknya baru saja dihelat pada Jumat, 19 Juli 2024. Itu bertepatan dengan 13 Muharam 1446 dalam penanggalan tahun Hijriah.
Filosofi dari sedekah laut ini adalah aktualisasi dalam frame kearifan lokal sebagai rasa syukur. Tak ketinggalan, agenda tahunan khas masyarakat nelayan pesisir yang kemarin melibatkan ratusan manusia itu, turut memanjatkan doa-doa keselamatan.
"Jadi ini menjadi bagian dalam aktualisasi rasa syukur atas hasil melaut selama setahun dan bermunajat kepada Tuhan untuk menolak bala," ungkap Rusman, menjelaskan.
BACA JUGA:Waspadai Penyakit Ispa Selama Kemarau, Warga Diminta Pakai Masker
BACA JUGA:5 Rekomendasi Leptop Gaming Terbaik Dengan Spesifikasi Gahar, Harga Di Bawah 20 Juta
Prosesi sedekah laut, kata Rusman, merupakan acara puncak. Tahapannya, prosesi ini memakan waktu 2 hari. Dimulai dari tanggal 12 Muharam dengan melakukan bersih-bersih lingkungan, khususnya tempat menambatnya perahu-perahu nelayan.
Kegiatan ini, lanjut dia, dilakukan secara bersama-sama sebagai ungkapan rasa syukur sekaligus permintaan maaf kepada tanah dan leluhur atas kemungkinan-kemungkinan khilaf yang dilakukan sebagai khitohnya seorang manusia biasa.
"Maka kemudian setelah berdoa dan tumpengan yang dinikmati secara bersama. Kemudian, bersama dengan para tokoh, melakukan air setawar sedingin ke perahu-perahu nelayan," jelasnya.