Cerpen : Erna Wiyono
"Jatuh cinta menempatkanku pada labirin tanda tanya, rasanya seperti permen pow yang meledak di langit-langit mulutku, sekejap samar, berdetak perlahan, membuat degup jantungku berdebar, jatuh cinta seperti biji-biji bunga matahari yang terus tumbuh bersama cahayaNYA."
"Apa mimpimu Naina?"
"Aku ingin menjadi petualang, dengan ranselku, aku ingin menjelajah dunia tanpa jeda."
"Lalu kapan kau pulang?"
"Saat Pluto mencium pipi kananku."
Pluto, aku namakan mimpi semusim, seperti aku yang tidak berani melihatnya dari dekat. Pluto tidak tahu bagaimana detak jantungku yang berdegup kencang saat ia melintas di hadapanku. Kulitku mendadak pucat seperti bulan separuh tadi malam, bibirku kelu. Aku menyukainya, bukan karena dia seorang yang tampan.
BACA JUGA:Jejak Sejarah Pabrik Semen Pertama di Asia Tenggara
BACA JUGA:Upaya Negeri Menggali Serta Mengembangkan Potensi Energi Unggulan Dunia
Pluto biasa saja, tapi ia punya banyak kebaikan dalam dirinya.
Sepeda kumbangnya menarik perhatianku, tas berbentuk kotak di punggungnya, bintik bintik di wajahnya, dan dua gigi kelinci miliknya.
Bayangkan aku tidak bisa tidur saat Pluto melempar senyumnya padaku, Ya Tuhan ... cara Pluto menarik garis tawanya, seperti apa ya, intinya dia lucu sekali hingga mengalahkan gemasnya taori, hamster kecilku yang sangat menyukai kuaci rasa susu.
"Naina san bagaimana dengan gaya gravitasi bumi?"
Pluto bertanya padaku, hingga ia membesarkan volume suaranya karena terkesan kuabaikan. Padahal aku sedang menikmati lekuk wajahnya. Sinar mentari yang masuk ke ruangan ini melalui jendela kelas, membuat Pluto semakin bersinar di mataku.
BACA JUGA:Pemerintah Terus Berupaya Untuk Memangkas Waktu di Gerbang Tol