Pengerjaan gedung A sebagai kantor utama NIS pun dimulai pada Februari 1904 dan selesai Juli 1907.
“Kalau kita lihat bentuk bangunannya (bentuk dalam gedung A) kaya gerbong kereta, jadi semuanya saling berhubungan seperti gerbong kereta api, hal ini dilakukan untuk mempermudah komunikasi orang Belanda kala itu,” kata Mas Aris.
BACA JUGA:Didampingi Elva Hartati, Helmi Hasan Penuhi Undangan DPP PDI Perjuangan
BACA JUGA:Subak, Sistem Irigasi Sarat Filosofi dari Bali
Seiring berkembangnya kantor kereta api Belanda, maka dibangunlah beberapa gedung pendukung, yakni gedung B, D, dan E pada tahun 1916 – 1918.
Untuk gedung B sendiri masih dibangun oleh Prof. J. Klinkhamer dan B. J. Oundag.
Sementara untuk gedung D dan E arsiteknya ialah Thomas Karsten.
Ia menjadi arsitek termuda dan terakhir yang merancang pembangunan Gedung Lawang Sewu.
Jika dicermati, bangunan Lawang Sewu menggunakan batu bata keramik berwarna oranye yang melambangkan sebuah kekayaan, kemakmuran, dan juga menunjukkan kasta tertinggi.
BACA JUGA:Mengungkap Keindahan Surga Kecil di Ranu Darungan
BACA JUGA:Tahun Depan, DKP Bengkulu Rencanakan Buat 23 Rumpon Ikan
Zaman dahulu, batu bata ini tergolong langka dan harga per-batanya pun sangat mahal.
“Zaman dulu satu batu bata ini ditaksir mencapai 300 ribu harganya. Dan yang unik, cetakannya ada yang melengkung," kata Aris.
"Dan salah satu alasan kenapa Lawang Sewu banyak pintu bukan hanya untuk membuat sirkulasi udaranya semakin bagus, tapi juga berkaitan dengan kasta, mereka (orang Belanda) sangat menjaga image, jadi kalau bangun ya nggak tanggung-tanggung,” katanya.
Setelah mengalami pemugaran dan renovasi, kini Lawang Sewu difungsikan sebagai museum yang menyajikan ragam koleksi yang berhubungan dengan kereta api.
BACA JUGA:Indeks Kinerja Pariwisata Indonesia Melesat ke Peringkat 22 Dunia