Ancaman mundurnya masa panen, berimbas dengan harga beras tinggi kian menjadi persoalan pelik di daerah.
Apalagi, sejauh ini langkah yang dilakukan pemerintah cenderung memilih cara instan; bantuan pangan atau pun program operasi pasar.
Kasuistik sektor pangan, khususnya beras secara nasional, tak ubahnya dengan apa yang terjadi di daerah.
BACA JUGA:Hermedi Rian Ketua, Tommy Sitompul Waka 1, Herliyanto Waka 2?
BACA JUGA: Bahas Draf Perbup Dana Desa dan ADD Bengkulu Utara
Dengan potensi kawasan lahan sawah potensialnya, tak berimbas pada kemampuan pemenuhan kebutuhan lokal.
Keseriusan berupa kepastian di sektor hukum, bisa dibilang baru ditegasi tahun lalu. Formatnya lewat Perda Nomor 1 Tahun 2023 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) Kabupaten Bengkulu Utara (BU).
Itupun dikebut, setelah sadar "sanksi" pusat dengan ketiadaan fiskal dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Irigasi.
Ditengah gempuran alih fungsi sawah. Menjadi ladang, bahkan perumahan. Malahan termasuk ada rumah pejabat dibangun di atas lahan sawah, menjadi sinyalemen ancaman di sektor pangan di masa depan.
BACA JUGA: Beda Bahasa dan Dialek Versi Kantor Bahasa
BACA JUGA:Selamat, Pemda Bengkulu Utara Raih Piala Adipura
Sebelumnya, Sekretaris Dinas Tanaman Pangan Holtikultura dan Peternakan (DPTHP) BU, Juita Abadi, menerangkan kini daerah, dihadapkan dengan kondisi iklim. Selain faktor teknis, semisal perbaikan reguler yang juga penting.
Juita bilang, musim tanam tahun ini juga sudah dimulai. Walaupun, tidak serentak. Seperti di kawasan Marga Sakti Sebelat (MSS), contohnya.
Katanya, sawah wilayah itu seperti yang ada di Desa Karya Jaya, sudah memulai olah tanah. Sawah di sana luasnya lebih kurang 85 hektar. Selanjutnya, Suka Baru seluas 50-an hektar.
Saat itu, kata dia, sudah mulai melakukan olah tanah.
BACA JUGA:Ini Catatan BMKG soal Gempa 5,6 SR di Bengkulu Utara