Wilayah Indonesia sebagai negara tropis terbesar di dunia tentunya memiliki banyak sekali destinasi wisata yang layak dikunjungi para pelancong dari seluruh dunia. Mulai dari keindahan matahari terbit di Gunung Bromo, keindahan Laut Wakatobi hingga keramahan warga Desa Ubud di Bali.
Namun demikian, dari berbagai pengalaman sebelumnya, Indonesia juga rentan terhadap penyakit dan wabah menular. Apalagi di era sekarang ini, pergerakan pelancong antarnegara maupun antarbenua sudah begitu cepat dan tidak banyak hambatan. Risiko penularan penyakit atau virus amat tinggi jika suatu negara tidak menyiapkan mekanisme preventif dalam menerima pengunjung dari luar negaranya.
Untuk itu, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memastikan wilayah destinasi wisata prioritas aman bagi wisatawan, termasuk dari sisi kesehatan. Hal ini diwujudkan melalui simulasi kesiapsiagaan penanggulangan penyakit berpotensi wabah demam kuning (yellow fever) di destinasi prioritas pariwisata nasional, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Demam kuning adalah penyakit demam berdarah (hemoragik) yang ditularkan oleh nyamuk yang terinfeksi virus penyebab demam kuning, yaitu virus yellow fever yang tergolong dalam genus Flavivirus kelompok besar virus RNA. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat terdapat sekitar 47 negara, yang meliputi 34 negara di Afrika dan 13 negara di Amerika Selatan merupakan endemik demam kuning. Dua puluh tujuh di antara negara Afrika diklasifikasikan sebagai negara dengan risiko tinggi demam kuning oleh Eliminate Yellow Fever (EYE). BACA JUGA:Bromo, Taman Terindah Ketiga di Dunia
Dari Januari 2021 hingga 7 Juni 2023 terdapat total 281 kasus konfirmasi dan 40 kematian yang dilaporkan dari 12 negara WHO Regional Afrika dan tiga negara WHO Regional Amerika dengan tingkat kefatalan (CFR) 14,23%. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu mengatakan bahwa simulasi dilakukan untuk mengecek dan mengevaluasi apakah di lapangan bisa berpotensi wabah atau tidak.
Belajar menangani Covid-19, semua negara tidak ada yang siap, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan kesiapan-kesiapan atas segala potensi yang terjadi, ujar Dirjen Maxi, di Labuan Bajo.
Berkolaborasi dengan lintas sektor terkait, Kemenkes memastikan, destinasi wisata superprioritas itu siap menyambut datangnya para wisatawan dengan aman dan nyaman. Selain Kantor Kesehatan Pelabuhan sebagai penjaga pintu masuk negara, sejumlah sektor lain seperti TNI, Polri, Layanan Kesehatan Penerbang dan Ruang Angkasa Dinas Kesehatan TNI-AU (Lakespra), pemerintah daerah dan instansi pemerintah pusat lainnya.
Mengingat kawasan wisata Labuan Bajo berbasis kelautan, kantor kesehatan pelabuhan bertugas di garis depan untuk mendeteksi faktor-faktor peningkatan risiko penyakit. Mereka melakukan pengamatan surveilans penyakit, baik bagi pelancong yang masuk dan keluar.
Kemenkes juga menggandeng kantor pelabuhan ASDP, juga menggandeng TNI-AU untuk mengevakuasi termasuk imigrasi dan kepolisian yang berperan jika terjadi chaos ketika ada penolakan di masyarakat. Kemudian pihak swasta para pemilik perusahaan kapal. Supaya mereka tahu ketika kapal ditetapkan terjangkit dan sedang dikarantina, mereka harus patuh pada ketentuan, jelas Dirjen P2P Kemenkes.
Adapun ketika ada kasus penyakit, maka peran pemerintah daerah setelah prosedur karantina pintu masuk maka melakukan karantina wilayah. Begitu pasien dirujuk ke rumah sakit atau puskesmas maka kewenangan ada di pemerintah daerah untuk memastikan proses evakuasi berjalan dengan lancar.
Kemenkes mengingatkan masyarakat bahwa potensi terjadinya wabah penyakit tidak bisa dihindari. Menurutnya, semakin terbukanya transportasi dan perubahan lingkungan sangat memungkinkan terjadinya mutasi virus yang menimbulkan berbagai penyakit. Namun dengan kesiapsiagaan, semua itu dapat diatasi dengan baik.
Perlu Penilaian Risiko
Bagaimana wisatawan mengenali gejala penyakit? Pada suatu kesempatan, Dosen Ilmu Penyakit Dalam FKKMK UGM, dr. Yanri Wijayanti Subronto, mengatakan bahwa terdapat berbagai penyakit, baik dari infeksi dan noninfeksi, yang dapat mengancam wisatawan jika mereka tidak waspada dan tidak merencanakan perjalanan dengan baik.
Seperti dikutip dari laman ugm.ac.id, penyakit-penyakit infeksi dan gejala yang sering berhubungan dengan berwisata antara lain, ialah diare dan masalah gastrointestinal, hepatitis A, malaria, dengue fever/demam berdarah, infeksi parasit, tuberkolosis, typhoid fever/tipes, yellow fever, dan meningitis/radang selaput otak.
Sedangkan untuk penyakit noninfeksi, penyakit tersebut bisa berupa neurologis seperti altitude sickness dan decompression sickness. Altitude sickness atau yang kadang disebut mountain sickness adalah penyakit yang dapat ditemui ketika Anda melakukan kegiatan pendakian. BACA JUGA: Rabeg, Masakan Kesukaan Sultan Banten
Altitude sickness merupakan kumpulan gejala yang terjadi ketika mendaki atau berjalan ke daerah yang lebih tinggi. Penyakit ini bisa didapati karena melakukan pendakian dengan terlalu cepat, di mana badan belum punya cukup waktu untuk beradaptasi dengan tekanan udara dan kadar oksigen rendah di tempat dengan ketinggian yang lebih tinggi.
Kemudian juga ada decompression sickness atau caisson disease. Decompression sickness biasa didapati oleh para penyelam scuba. Penyakit ini muncul ketika tubuh melewati perubahan tekanan air yang terlalu cepat. Hal ini kemudian mengakibatkan nitrogen dalam darah membentuk gelembung yang dapat menyumbat pemburuh darah dan jaringan organ. Gejalanya bervariasi tergantung dari lokasi terjadi penyumbatan, misalnya nyeri sendi, pusing, tubuh lemas, sesak nafas, dan lain sebagainya.
Untuk menjaga agar tetap sehat selama berwisata, dokter Yanri menyarankan untuk melakukan risk assessment atau penilaian risiko sebelum melakukan perjalanan. Sekiranya ada empat bentuk risiko yang harus kita nilai, antara lain risiko destinasi, risiko moda transportasi, risiko riwayat penyakit, dan risiko intervensi.
Sumber : Indonesia.go.id
Kategori :