RADARUTARA.BACAKORAN.CO - Pemerintah Indonesia berencana untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 12% pada tahun 2025.
Keputusan ini, yang tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), mengundang berbagai reaksi dari masyarakat dan pelaku usaha.
Di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi COVID-19, serta rendahnya daya beli masyarakat, kenaikan PPN ini berisiko menyebabkan dampak negatif yang lebih luas, salah satunya adalah terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.
Tantangan Ekonomi yang Belum Pulih
BACA JUGA:Dinas PU Dapat Kucuran DAK Tematik KPPN Rp22 Miliar
BACA JUGA:Potensi Pengaruh Kenaikan PPN 12% pada Tahun 2025 Terhadap Kesejahteraan Masyarakat
Sejak pandemi COVID-19, perekonomian Indonesia telah mengalami tekanan yang signifikan.
Berbagai sektor, terutama yang bergerak di bidang pariwisata, manufaktur, dan perdagangan, harus berjuang keras untuk bangkit.
Meskipun beberapa indikator ekonomi menunjukkan tanda-tanda pemulihan, seperti pertumbuhan GDP yang positif, namun realitas di lapangan jauh dari kondisi ideal.
Banyak usaha kecil dan menengah (UKM) yang masih kesulitan bertahan, sementara angka pengangguran masih terbilang tinggi.
BACA JUGA:Penuhi Target PAD, Realisasi Pajak dan Retribusi Daerah Digenjot
BACA JUGA:Pajak MBLB/Galian C Masih Minim, Bapenda Akan Genjot di Desember
Dalam kondisi ekonomi seperti ini, kenaikan PPN justru dikhawatirkan dapat memperburuk keadaan.
PPN yang lebih tinggi berarti harga barang dan jasa akan mengalami kenaikan.
Akibatnya, daya beli masyarakat yang sudah rendah bisa semakin tergerus.