Petani Mukomuko vs PT. DDP Dibawa ke Mahkamah Rakyat
Perwakilan petani Mukomuko saat hadir dalam Mahkaham Rakyat di Jakarta-Radar Utara/Doni Aftarizal-
BENGKULU.RADARUTARA.BACAKORAN.CO - Kasus tiga petani Tanjung Sakti Kabupaten Mukomuko yang dihukum membayar denda Rp 3 miliar akibat digugat PT Daria Dharma Pratama (DDP), dibawa ke sidang Mahkamah Rakyat di Jakarta.
Ini disampaikan salah satu perwakilan petani Tanjung Sakti Mukomuko, Harapandi. Menurutnya, hukuman itu merupakan bentuk ketidakadilan.
"Jadi tolong tunjukkan keadilan di muka bumi ini, karena negeri ini punya kami. Selama pemerintahan Presiden Jokowi, saat ini tidak ada keadilan," kata Harapandi.
Harapandi menjelaskan, hukuman tersebut buntut dari konflik agraria yang terjadi di Kabupaten Mukomuko. Dimana awalnya tiga petani Tanjung Sakti Mukomuko, dituntut perdata senilai Rp 7,2 miliar oleh PT DDP.
BACA JUGA:Sejarah Baru! PON 2024 Digelar di Aceh dan Sumatra Utara
BACA JUGA:Edukasi dan Penegakan Hukum: Strategi Pemerintah Berantas Judi Online
"Dalam putusan tingkat pertama, saya bersama Rasuli dan Ibnu Amin dinyatakan bersalah telah menghalang-halangi aktivitas perusahaan," beber Harapandi.
Dilanjutkan Harapandi, soal tuntutan ganti rugi dari PT DDP, awalnya sebesar Rp 7,2 miliar dan tidak dikabulan hakim. Namun pada putusan tingkat banding, para petani dinyatakan bersalah dan dihukum membayar denda Rp 3 miliar.
"Makanya kami mencari keadilan melalui jalur konsitusional, dengan menyampaikan memori kasasi melalui Pengadilan Negeri (PN) Mukomuko," tegas Harapandi.
Sementara Kuasa hukum petani, Efyon Junaidi mengatakan, gugatan PT DDP ini tidak jelas. Sebab dalam gugatan ada HGU, namun ada bukti surat yang dikeluarkan PT. DDP sendiri yang menyatakan mereka baru memiliki izin prinsip.
BACA JUGA: Lahan Permukiman 70 Hektar Untuk Warga Pasar Sebelat, Tak Lagi Berkabar
BACA JUGA:Ketua DPR Tagih Aturan Turunan UU Perlindungan Data Pribadi
“Ada hal yang tidak konsisten antara alas gugatan dengan bukti surat. Beberapa catatan penting yang menjadi dasar gugatan ini adalah HGU N0 125/2017 yang dinyatakan sebagai alas hak tapi tidak disertai lampiran peta bidang tanahnya,” jelas Efyon.
Sehingga, sambung Efyon, ini menimbulkan tanda tanya besar mengapa PT DDP tidak memasukan peta tersebut, sehingga data dan informasi yang dihadirkan menjadi terang benderang.