Banner Dempo - kenedi

Masyarakat Perlu Bersikap Kritis atas Penelitian Klaim BPA Aman

Masyarakat Perlu Bersikap Kritis atas Penelitian Klaim BPA Aman-NET -

Jadi, lanjutnya, paparan panas dan paparan sinar ultraviolet (UV), akan menyebabkan BPA-nya terlepas.

“Kalau bisa, saran saya, truk-truk pengangkutnya berataplah, jadi tidak ada pengaktifan BPA-nya jadi tergelontor lepas,” ujarnya.

BACA JUGA:Dinas Kesehatan Segera Lakukan Surveilans Kualitas Air Minum Rumah Tangga

BACA JUGA:Kolaborasi Pemerintah dan Swasta untuk Akses Air Minum Bersih di 2045

“Dalam konteks kandungan senyawa kimia BPA, beberapa penelitian sudah sangat masif menjelaskan bahwa BPA berbahaya secara akumulatif untuk kesehatan,” katanya.

Dr. Oka Negara yang dikenal kompetensinya  di bidang kesehatan seksual dan reproduksi, dan saat ini aktif di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bali, juga menegaskan bahwa paparan senyawa Bisfenol A (BPA), terutama saat janin masih dalam kandungan, bisa menyebabkan kelainan pada organ reproduksi pria, termasuk micropenis.

“BPA ini masuk dalam konteks Endocryn Disrupting Chemicals (EDCs) atau bahan-bahan kimia yang mengganggu hormon,” tutur dr. Oka.

“Karenanya, bila (BPA) dikonsumsi terus menerus, (bisa menimbulkan) Gangguan estrogen, dan pada laki-laki berpotensi mengalami micropenis, berpotensi mengalami gangguan kesuburan. Kalau pada perempuan, cenderung mengalami debut seksual lebih awal, payudaranya dan panggulnya lebih besar lebih awal,” katanya melanjutkan.

BACA JUGA:Depot Air Minum Isi Ulang Harus Beri Jaminan Perlindungan Kesehatan Konsumen

BACA JUGA:Tingkatkan Layanan Air Minum, 6 Desa di Mukomuko Dapat Pansimas

Lebih jauh dr. Oka Negara menyebutkan  adanya kemungkinan peran BPA pada turunnya angka kesuburan perempuan, dibanding dua atau tiga dekade lalu. Hal ini dicurigai ada kaitannya juga dengan  dampak senyawa kimia berbahaya yang terakumulasi dan akhirnya memengaruhi kesuburan perempuan.

“Karena sekarang saja, angka infertilitas perempuan sudah mendekati 20%, di mana pada dua atau tiga dekade lalu, kita ini mungkin masih produk para orang tua yang anaknya lebih dari empat,” katanya.

“Tapi zaman sekarang angka fertilitasnya tidak sebesar dulu. Jangan-jangan penyebabnya adalah bahan-bahan kimia tersebut,” katanya lagi.

“Nah, sekarang kita lihat apakah (semua bukti ini) mau dianggap nggak apa-apa? Atau kita mau lihat generasi berikutnya adalah generasi yang benar-benar lebih sehat,” kata dr. Oka. (**)

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan