Sebelum Pandemi dan Sesudah Itu Mati
Ilustrasi-Radar Utara-
Pukul! Pukul! Pukul terus! teriak preman-preman itu kompak.
Wajah lekaki yang dikeroyok itu bonyok. Darah mengalir dari hidung dan sela-sela bibirnya. Namun, ia seperti tidak merasakan apapun akibat dari pukulan itu. Bahkan, menyuruh preman-preman itu untuk terus memukulnya.
Pukullah bagian mana dari tubuhku yang kalian mau! Aku takkan lari! ucapnya garang.
Preman-preman itu kembali menghujani tinju dan tendangan ke lelaki itu. Bahkan salah seorang preman yang dikenal sebagai dedengkotnya preman, tanpa sepengetahuan lelaki itu melolos sebilah badik yang disembunyikan di pinggangnya. Dan secepat kilat terdengar bunyi, Blas! Blas! Blas!
BACA JUGA:JODOHMU ADALAH SIAPA DIRIMU
BACA JUGA:DEBAT ORANG-ORANG BISU
Mampus kau!ucapnya dengan geram.
Orang-orang yang melihat terkejut. Lelaki itu meraba perutnya. Ada tiga lubang kecil merobek kausnya. Namun lelaki itu tersenyum lalu menyeringai sambil menyibaknya.
Dan begitu perutnya terbuka, semua yang melihat tanpa terkecuali dedengkot preman yang menikamnya, makin terkejut. Lelaki itu kebal senjata tajam. Preman-preman itu lari lintang pukang dan terpontal-pontal. Dengan begitu, mereka bukan lagi penguasa Terminal 59.
***
PENGALAMAN sakitnya kini memang sedikit berbeda. Obat yang diminumnya tak mempan. Demamnya makin tinggi. Sementara pemberitaan pandemi makin menjadi-jadi.
Lelaki itu tiba-tiba cemas. Pikirannya kusut dan menggumpal menjadi ketakutan. Kabar Virus Corona yang ia lihat di televisi, medsos, dan YouTube meneror kepalanya yang bertambah pening.
BACA JUGA:POHON JAMBU WARISAN SI MBAH
BACA JUGA:Bukan Dia, Romeomu
Di Terminal 59, di wilayah kekuasan yang dijaganya, lelaki itu merasakan tubuhnya ringan seperti tak menapak bumi. Lalu seperti terembus angin, lelaki itu rebah di tanah.