Fenomena Kotak Kosong Dalam Pilkada, Gagalnya Kaderisasi Atau Hegemoni Partai?

ILUSTRASI-istimewa-

RADARUTARA.BACAKORAN.CO - Calon Tunggal melawan Kotak Kosong pada perhelatan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2024 ini, menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Ada sebanyak 41 daerah, baik ditingkat provinsi, kota dan kabupaten di seluruh Indonesia yang hanya memiliki satu pasangan calon dan akan berhadapan dengan kotak kosong pada Pilkada serentak November mendatang.

Fenomena melawan kotak kosong ini mungkin bagus untuk para calon tunggal, karena diprediksi akan lebih memuluskan langkah kemenangan mereka menduduki kursi kepala daerah.

Sebab dalam sejarah perhelatan Pilkada, baru ada sekali kotak kosong unggul atas calon tunggal, yaitu pada pemilihan Wali Kota Makassar, di mana kotak kosong mampu mengalahkan pasangan Munafri Arifuddin dan Andi Rachmatika Dewi pada Tahun 2018.

BACA JUGA:Jelang Pilkada, Bawaslu Mukomuko Larang ASN Terlibat Politik Praktis

BACA JUGA:Minta Seluruh ASN dan Parades Netral Hadapi Pilkada Serentak 2024

Akan tetapi, jika ditilik dari kemeriahan demokrasi sebagai pesta rakyat, fenomena calon tunggal melawan kotak kosong ini justeru mengurangi warna warni pesta itu sendiri.

Kemeriahan berdemokrasi terkesan sepi dengan tampilan hanya satu calon saja, kurang greget, kurang hangat dan seperti kurang bergairah, sebab hanya melawan sebuah benda tak bergerak yang bernama kotak kosong.

Beberapa pengamat menilai fenoma melawan kotak kosong ini disebabkan oleh faktor kegagalan partai membentuk kadernya menjadi pemimpin, ada juga yang menyebut bahwa fenomena ini terjadi akibat hegemoni partai.

Surokim Abdussalam, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura, mengatakan fenomena kotak kosong ini terjadi akibat kegagalan partai politik mencetak kadernya di daerah.

BACA JUGA:Perindo Targetkan Paslon Yang Diusung Menang Pilkada

BACA JUGA:Pilkada Serentak, Prajurit TNI AD Diingatkan Soal Netralitas

Alasan kegagalan partai partai politik dalam kaderisasi semakin diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak mendapat sambutan dari partai partai, padahal Putusan MK yang telah menurunkan ambang batas pencalonan tersebut, memberikan peluang hingga kepada partai yang tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Partai yang tidak mendapat jatah kursi di DPRD, mendapat ruang dan tetap bisa mengusung pasangan calon selama memenuhi syarat persentase yang dihitung dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan