Love or Ghosting
Ilustrasi-Radar Utara-
“Kamu pasti senang kan sekarang, senyum-senyum di sana setiap hari, kasmaran karena cinta lama belum kelar?” Suara di seberang melalui benda pipih yang disebut smarthphone.
Sambil menata posisi bantal kursi guna menutupi sebagian wajahnya, Citra memutuskan untuk berdusta dengan suara yang keluar setengah berbisik, “Enggak, aku sangat menyedihkan sekarang,” Citra kembali memikirkan bagaimana caranya dia menetralisir hatinya esok hari.
“Melihatnya berkomunikasi dengan rekan wanita lain saja hatiku membara, belum lagi dia jadi idaman cegil-cegil, salah satunya anak Pak Lurah,” bagi Citra, memikirkan cinta saat KKN itu absurd. Sebab seluruh keabsurdannya sudah bergejolak saat pengumuman kelompok dan lokasi KKN sebulan yang lalu.
BACA JUGA:Bukan Dia, Romeomu
BACA JUGA:Menggores Aksara Di Pusara Rumah Ayah
“Sudah hampir tiga tahun piala, move on dong,” Suara di sebarang sana berteriak heboh, siapa lagi kalau bukan Meisya, satu-satunya orang yang memanggil Citra dengan sebutan Piala. Meisya juga turut memberikan penghargaan sebagai gadis gagal move on versi kampusnya.
“Sudah ah, kamu nggak asyik, aku matiin teleponnya,” Citra bergegas menyentuh warna merah di layar smartphonenya, sebelum Meisya tantrum seperti yang sudah-sudah. Meisya bosan kalau mendengar Citra yang masih saja gagal move on pada orang yang sama
Andai move on bisa semudah ganti baju, pasti Citra sudah melupakan perasaan yang dulu pernah tumbuh. Dia berpikir, bagaimana hatinya bisa benar-benar terperangkap pada pesona pria yang bahkan tidak mengutarakan perasaannya.
Dia sendiri yang memutuskan hubungan, dia juga yang galau berkepanjangan. Bertahun-tahun hatinya masih saja terpatri, tetap pada orang yang dulu dianggapnya hanya sebuah perkenalan klise. Memangnya Citra ingin terbengkalai pada rasa yang tak jelas akhirnya? Tidak sama sekali.
BACA JUGA:Kotak Rahasia Jessy
BACA JUGA:BAGAIMANA AGAR LANGIT TAK RETAK
Pikiran Citra tak karuan, bagaimana bisa saat itu membiarkan hatinya terbagi. Meskipun tak benar-benar main belakang, tapi perasaannya sudah dipermaikan.
Keningnya berkerut, berusaha menyingkirkan perasaan aneh yang menggelayuti jiwanya karena memikirkan masa lalu. Citra kesal karena mengabaikan rasa cinta yang dulu telah tumbuh.
Kini dia hanya bisa menyesal, menyesal karena tidak bisa memperjuangkannya sekaligus.
Citra membatasi hati, begitu pun Samudra, keduanya berkomunikasi hanya saat rapat dan mengerjakan proyek. Selebihnya mereka tetap bersikap biasa, seakan tak terjadi apa-apa.