Menggores Aksara Di Pusara Rumah Ayah

Ilustrasi-doc.lakonhidup,com-

Dia menyela-nyela rerumputan liar sambil memandang ke arah lempeng batu bertuliskan nama. Nama-nama yang mereka tinggalkan untuk keluarga dan sanak-saudara mereka. 

Akhirnya, sampailah Ia pada halaman rumah ayahnya. Rumahnya terlihat sangat sederhana. Tidak ada dinding-dinding batu-bata yang tersusun rapi layaknya sebuah rumah. 

Tidak memiliki jendela kaca tembus pandang maupun pintu berkayu ara. Atapnya hanyalah kumpulan butiran debu yang memadat oleh pasir waktu. Tiada pula perabotan rumah yang memadai di dalamnya. 

BACA JUGA:Temukan Berbagai Manfaat Yang Dapat Kita Ambil Dari Daun Insulin Yang Jarang Diketahui

BACA JUGA:Menyikap Jejak Sejarah Hotel Raja Majapahit, Umpak Balekambang

Pun tidak ada tungku perapian untuk mengangatkan badannya yang sedang tergeletak seorang diri. Tidak ada pakaian mahal untuk pergi ke pesta pernikahan maupun jubah peribadatan . 

Di dalam rumahnya itu, ia hanya seorang diri tanpa kawan, tanpa lampu-lampu penerang seperti kebanyakan rumah. Sinar matahari pun tidak dapat masuk melalui pori-pori debu yang berwarna coklat padat itu. 

Ketiadaan segala kebutuhan manusia di dalamnya bukan karena tidak ada mata uang untuk membelinya. Hanya satu alasan pasti, sebab ayah tidak lagi membutuhkan itu semua. 

Bahkan, mungkin saja pakaian putih yang telah ia kenakan bertahun-tahun lamanya telah loak termakan oleh zaman, zaman yang baka nan purba. Bukan karena tak bisa menggantinya, sebab ayah hanya membawa beberapa balut kain saja dalam satu waktu sepintas lalu.

BACA JUGA:Wajib Coba! Inilah 7 Aplikasi Untuk Mengedit Foto Gratis Terbaik Di HP Android

BACA JUGA:Tidak Sekedar Menjadi Hiburan ! Ini Beberapa Manfaat Dari Mendengarkan Musik, Terhadap Kesehatan Tubuh

Tibalah Dia di pusara rumah ayahnya. Dibersihkannya rerumputan liar yang tumbuh di pekarangan rumah itu menggunakan tangannya dengan rasa bersalah yang berkitan-kitab. Kenapa baru sekarang ia menjenguk ayahnya? 

Dia duduk seorang diri di sebelah kiri pusara rumah tak berdinding dan beratap layak itu. Dibukanya bungkulan aksara bertuliskan huruf arab yang kemudian ia baca dengan nada yang penuh lirih. 

Diulang-ulangnya beberapa kali sampai pada saat yang tidak terduga mengalir deras air mata dari kedua bola matanya. 

“Kenapa ayah belum saja keluar dari rumahnya?” Batinnya. Tidakkah ia mendengar suara anak remaja yang sedang mengiba itu? Tidak sudikah ia menemui anaknya walau sekejap saja? 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan