Sinyal Nestapa Satwa dan Catatan Kerusakan Hutan Bengkulu
Adi Junedi, Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi-ANTARA FOTO-
RADARUTARA.BACAKORAN.CO - Harimau bunuh warga di Bengkulu, tepatnya di Kabupaten Mukomuko bisa dikata adalah pemuncak nestapa satwa yang diduga kuat lantaran rusaknya kawasan hutan yang selama ini menjadi habitat. Kejadian tragis di Bengkulu, terus menambah catatan pelik konflik satwa dan manusia di Indonesia.
Dalam sepuluh tahun ke belakang, warga di daerah yang memiliki slogan Kapuang Sakti Rantau Batuah itu, masih bisa menikmati hasil tanam-tanaman buah selain sawit yang sudah kadung mengepung, sebagai bisnis ekonomi kerakyatan dan swasta di sana.
Diceritakan Mardiana, 54 tahun warga di kabupaten pecahan dari Kabupaten Bengkulu Utara kepada RU, kini untuk mendapatkan hasil panen buah-buahan seperti rambutan, nanas bahkan jengkol di perladangan, pemilik sudah harus mengalah.
Bahkan, kata dia, pepohonan buah yang di sekitar rumah pun sudah sulit untuk memanen. Sekawanan hewan liar sejenis kera, sudah tanpa ragu menggelayut antar pepohonan alih-alih untuk mencari makan.
BACA JUGA:Melintasi Hutan Kawasan, Warga Tanjung Kemenyan Berjuang ke Rumah Sakit
BACA JUGA:Gandeng Latun, Pemda Bahas Rencana Hutan Adat
"Sudah beberapa tahun ga pernah panen rambutan lagi. Itu sejenis kera udah nyampe sekitaran rumah, kalo pas lagi musim buah," ungkapnya mencerita.
Apa yang dicerita Mardiana, mungkin bisa menjadi renungan tentang bagaimana kondisi alam, khususnya kawasan hutan saat ini. Kondisi hutan yang terus dirusak saban tahunnya. Luasnya yang terus bertambah. Diperparah lagi dengan rencana perluasan sawit oleh pemerintah yang tengah mencari akal menghindari praktik deforestasi.
Konflik hewan dengan manusia, bukan cuma amukan harimau di Mukomuko yang juga pernah terjadi di kabupaten lain. Beruang versus manusia juga pernah terjadi di Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu.
Mantan aktivis pemerhati lingkungan, Bayu Setiawan, menilai kemunculan mamalia yang memiliki taring dengan kuku yang siap mencakar dan mencengkram kuat, merobek hingga menggali serta bermoncong panjang ini, mendiagnosa habitat aktivitas hewan buas ini, sudah terganggu.
BACA JUGA:Pemkab Terlibat, Waktu Garap Hutan Sosial 35 Tahun!
BACA JUGA:Yayasan PPHTB Targetkan Peroleh Data Kondisi Hutan Tropis dan Pesisir
"Kuat kemungkinan, hewan ini sudah kesulitan mencari pasokan pangan. Ketika kelaparan, imbasnya adalah wilayah aktivitasnya jadi meluas," ungkapnya, menganalisa, saat dibincangi Minggu, 30 Juni 2024.
Sebagai pemerhati lingkungan, Bayu menyerukan, agar pemerintah kembali meningkatkan konsennya pada persoalan sosial ini. Versinya, singgungan aktivitas hewan-hewan yang lazimnya berada di wana luas, tapi kini justru memiliki circle yang terus mendekat dengan wilayah aktivitas manusia, merupakan rentet persoalan atas terus terjadinya perusakan kawasan hutan.