GUBUK KECIL DAN RINTIK HUJAN
Ilustrasi-FILESKI WALIDHA TANJUNG -
Idealisnya Harsono sering berbenturan dengan teman-temannya yang ahli memainkan anggaran. Dilematika semacam itu yang dihadapi Harsono.
Ia merasa tidak cocok duduk di kursi ksatria. Tidak cocok jadi pejabat lembaga. Ia ingin kembali ke kasta yang lebih tinggi. Menjadi guru saja, yang tugasnya mengajar dan mendidik siswa.
Mengabdikan diri pada ilmu saja. Tanpa harus mengurusi keruwetan birokrasi.
Sepulang kerja. Akhir-akhir ini ia kembali pada kebiasaan lama, kebiasaan seperti ketika anaknya masih ada. Merenung di padang rumput, menengok makamnya Bima.
BACA JUGA:FATAMORGANA BRAVIA MANJIA
BACA JUGA:LELANANGE JAGAD MERINGKUK DI KOSAN
Sebab hanya di tempat itu, ia merasa satu-satunya tempat yang tenang. Tempat yang hanya ada kejujuran. Tak seperti di kantornya yang penuh topeng kemunafikan. Tidak bertemu orang-orang yang gila jabatan. Keramahan yang dibungkus maksud terselubung.
Tak ada ketulusan. Tak ada kebaikan yang benar-benar tanpa tendensi. Sedangkan di padang rumput ini, dia benar-benar bisa menjadi dirinya sendiri.
Namun padang rumput ini sudah tak seperti dulu lagi. Dari kejauhan ada asap mengepul. Asap pabrik. Telah mengotori satu satunya tempat yang membuat hatinya tenang.
BACA JUGA:Wanita yang Nglungsungi Seperti Ular
BACA JUGA:DI NEGERI PARA PESOLEK
Lamat-lamat suara kicau burung itu telah tergantikan deru mesin-mesin pabrik. Dan suara klakson cerobong asap yang meraung-raung di udara.
Pabrik itu pun telah mengalirkan kanal berbau busuk. Limbahnya mengalir tak jauh dari makamnya Bima, tempatnya merenung.
Harsono tak tau lagi harus mencari ketenangan dimana. Satu-satunya tempat yang jadi memori indah bersama anaknya, telah dirampas oleh industrialisasi.
Tadi malam istrinya telpon. Istrinya bercerita, kalau dia kepergok di hotel bersama bosnya. Untunglah bukan sang istri bos yang mengetahuinya.