RADARUTARA.BACAKORAN.CO - Dua setengah juta tahun silam, manusia purba berusaha mencari sumber makanan yang disebut-sebut sebagai inti kehidupan.
Tersembunyi dibalik tulang yang keras memang bagian ini menpunyai kandungan yang luar biasa. Tak heran sajian yang juga lezat ini dianggap sakral bahkan menjadi pengambaran dari penciptaan manusia di berbagai kebudayaan.
Gurih dan berlemak, dua kata ini cukup mendeskripsipkan bagaimana rasa sum sum tulang ketika di kecap lida.
Meski bukan sebagai menu utama, kehadiran sum sum pada suatu makanan rupanya membawa perubahan yang besar khususnya pada rasa.
BACA JUGA:Kisah Ayam Goreng Tepung Warisan Perbudakan
BACA JUGA:Melihat Kebiasaan Suku Sakai, Menyingkir Dari Keramaian
Beberapa rumah makan bahkan menjadikan sum sum sebagai bahan tak terpisahkan dari sebuah sajian.
Konsumsi sum sum tulang sendiri memiliki akar sejarah yang dalam dan mempengaruhi praktek budaya dan mitologi di berbagai peradaban.
Bukti Arkeolog menunjukan bahwa manusia purba telah mengkonsumsi sum sum tulang setidaknya sejak 2,5 juta tahun yang lalu.
Penggunaan alat untuk memecahkan tulang untuk mengakses sum sum ini, menunjukan nilainya sebagai makanan bergizi tinggi untuk memenuhi kebutuhan protein mereka.
Uniknya manusia dimasa lampau menunjukan pengetahuan yang mengagumkan tentang bagaimana sum sum bisa membuat mereka bertahan hidup.
BACA JUGA:HUT Bhayangkara Ke 78, Bupati Mian Ajak Masyarakat Ciptakan Kamtibnas
Jejak budaya di Gua Qesem Israel, yang disinyalir ada sejak 400 ribu tahun yang lalu menunjukan manusia telah menyimpan sum sum sekaligus lemak didalam tulang sebagai bahan makanan sebelum mereka mendapatkan daging.
Dalam beberapa kebudayaan kuno, sum sum tulang secara simbolis di kaitkan dengan kehidupan dan kesuburan karena kaya akan nutrisi penopang kehidupan. Uniknya secara medis kandung sum sum memang membuktikan legenda tersebut.