RADAR UTARA - Kali ini, penulis mengajak diri sendiri dengan harapan bisa berguna bagi siapapun yang turut membaca tentang laku Memayu Hayuning Bawono (memperindah keindahan dunia). Kata Memayu Hayuning Bawono, merupakan filosofi atau nilai luhur tentang kehidupan dari kebudayaan Jawa. Yang sejatinya menjadi tugas setiap kita semua untuk dapat melakukannya, selaku umat manusia.
Sebagai makhluk Tuhan yang berakal dan berbudaya, cara kita memahami dan memaknai keindahan dunia. Tidak hanya secara empiris atau kasat mata tentunya. Namun juga dilambari (didasarkan) dengan standar etik. Karena baiknya akhlak, sejatinya puncak keindahan dunia. Lantas darimana kita memulai menalarkan memayu hayuning bawono.?
Para sepuh Jawa ada yang menyebutkan, hal itu dimulai dari memayu hayuning diri atau upaya membentuk pribadi yang baik. Dengan selalu mengolah batin, untuk melepaskan ketergantungan terhadap keduniawian agar upaya membangun perilaku yang baik dapat berjalan sempurna. Kepribadian yang baik dengan jiwa yang kukuh ini, akan menjadi tongkat atau penuntun kita untuk mulai memperindah keindahan dunia. Itulah Memayu Hayuning Bawono.
Kegemaran mengumbar kelebihan yang kita miliki atau gemar mwncari kesalahan orang lain atau bahkan cenderung suka memfitnah dan laku buruk sejenisnya. Maka kita akan sulit untuk "nyawiji marang jagat sak isine" (bersatu dengan alam semesta beserta isinya).
Selain itu, poro pinter atau kaum intelektual juga menyebutkan, untuk bisa memayu hayuning bawono. Harus dilandasi dengan memayu hayuning kolowargo atau kepedulian kita dalam menjaga keutuhan, dalam keluarga. Karena ini dinilai sebagai gambaran rasa tanggung jawab terhadap upaya memayu hayuning bawono.
Tanggungjawab merupakan hal prinsip dan pemuncak diri. Gambaran "kecil" itu yang selanjutnya akan menjadi penegas dan penambah nilai kepercayaan diri dalam upaya memperindah keindahan dunia.
Dengan artian, laku ini menciptakan suasana dunia yang nyaman dengan kemampuan menjadikan indahnya keluarga, sebagai cerminan diri atau integritas. Bertanggungjawab terhadap keluarga, merupakan awal perjalanan untuk menjadi khalifah di muka bumi.
Karenanya, menjadi keliru, ketika berpikiran bahwa kita bisa hidup sendiri yang akan menjadikan kita jumawa dan paling sempurna. Dalam tatanan sosial luas, layaknya negara, tidak akan ada pemimpin ketika tidak ada rakyat.
Tidak ada bos, ketika tidak ada karyawan. Tidak ada guru, ketika tidak ada murid. Tidak ada kepala sekolah, ketika tidak ada guru. Kelindan sosial inilah yang menjadi khitoh manusia dan kemanusiaan. Sak Padane Urip dan Sak Pada-padane Urip. Sesama manusia dan juga sesama mahluk Tuhan.
Estafet sikap atau prilaku sebagaimana diajarkan poro sesepuh, bahwa sebelum memayu hayuning bawono, kita juga harus mengenal lebih dulu "memayu hayuning sesomo". Untuk memperindah laku hidup dengan berbuat baik terhadap sesama.
Ini gambaran perilaku diri sendiri yang harus terus berbuat kebaikan dengan memberikan karya-karya terbaik dimanapun kita berada. Piwulang ini, selaras dengan ajaran agama yang juga mengajarkan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bisa berguna bagi orang lain.
Dan laku memayu hayuning bawono merupakan penegas dari berbagai tulisan di atas, laku yang ini adalah memperindah dunia. Dalam kajian ini, kita sudah bisa jadi pemimpin, pengasuh, dan penasehat (waskito). Karena yang dimaksud dengan memayu hayuning bawono adalah alam berserta isinya tidak akan dirugikan oleh sikap, sifat dan tabiat kita.
Memayu hayuning bawono juga bisa dibilang suatu energi kebaikan yang selalu terpancar dari etika seseorang. Jadi pada intinya ajaran ini adalah sikap seseorang terhadap diri sendiri, terhadap keluarga, terhadap sesama yang pada akhirnya akan menjadi tolak ukur sikap kita terhadap dunia.
Semoga didapatkan makna positif dari tulisan ini, dan berkali-kali kami mohon maaf jika terjadi salah penafsiran. Semoga kita dapat manggih rahayu wilujeng (menemukan kebahagiaan yang berkah) dalam mengarungi hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.(**)