BACA JUGA:Mengembalikan Kejayaan Rotan Indonesia
BACA JUGA:Masyarakat Bengkulu Diajak Dukung Nabila Putri Bintadytama
Tempat itu ia namai Jolotundo. Jolo berarti air dan tundo adalah bertingkat yang bermakna pemandian air bertingkat atau berundak seperti terlihat sekarang ini. Pada pahatan di salah satu undakan tertera aksara tiga angka Jawa kuno bertuliskan 899 dalam tarikh Saka atau 977 Masehi.
Bosch meyakini itu sebagai tahun berdirinya Jolotundo atau sekitar 1.046 tahun lampau. Ini sama seperti periode ditemukannya kembang api oleh dinasti di Tiongkok dan dipakai sebagai bahan peledak pertama kali di dunia. Pada dinding-dinding Jolotundo ini diukir relief cerita Mahabharata dan kelahiran Udayana berdasar kisah Kathasaritsagara, dari kitab pertama Mahabharata. Selama ratusan tahun setelahnya, petirtaan ini ditinggalkan pengikutnya.
Surveyor Hindia Belanda Johannes Willem Bartholomeus Wardenaar menemukan kembali pemandian tersebut pada 1815 saat penjelajahan belantara Jatim atas perintah Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Saat ditemukan, kondisinya berantakan dan tertutup semak belukar. Terdapat hiasan batu andesit berbentuk oval menyerupai bunga teratai atau padma pada bagian utama yakni di dinding sebelah timur.
Batu-batu andesit yang dihaluskan ini memiliki lubang tempat mengucurnya air. Ada 16 lubang pancur di tingkat terbawah dan 14 lubang pancur di undakan berikutnya. Air bersih tampak mengalir deras dari lubang-lubang pancur tadi dan jatuh ke kolam di bawahnya. Pada masanya, Petirtaan Jolotundo juga menjadi lokasi semedi favorit raja-raja Kerajaan Majapahit yang berkuasa di tanah Mojokerto antara abad 13 sampai abad 15.
BACA JUGA:DBD Mengganas, 55 Warga di Mukomuko Dinyatakan Positif
BACA JUGA:Datangi Sekolah, Dinas Pendidikan Sosialisasi Tentang Kebencanaan
Konsep Mutakhir
Arkeolog Universitas Negeri Malang M Dwi Cahyono menyakini, pemandian tersebut telah ada jauh sebelum Udayana, atau ketika Kerajaan Medang berkuasa di periode Mataram kuno dari Wangsa Isyana di Jatim. Ia menyebut, awalnya petirtaan itu berwujud empat undakan atau tingkat dan hanya tersisa dua tingkat. Hal itu ia ungkapkan dalam sebuah siniar daring terkait Jolotundo di platform media sosial Youtube.
Pada tingkat kedua ada sebuah bidang datar mirip altar yang semula menjadi tempat berdirinya arca Raja Airlangga berwujud Dewa Wisnu menunggang garuda. Arca tersebut saat ini tersimpan di Museum Trowulan. Kemudian, di kedua sisi undakan pancuran ada dua bilik, sisi kiri ada tempat khusus perempuan dengan penanda air memancur dari mulut arca naga. Selanjutnya sisi kanan untuk pria terdapat pancuran air mulut arca garuda.
Dwi Cahyono menilai, arca naga melambangkan feminisme dan garuda mewakili maskulitas. Petirtaan Jolotundo dibangun dengan konsep mutakhir di eranya. Yaitu mengalirkan mata air lereng Penanggungan melewati terowongan bawah tanah dan menembus ke kawasan petirtaan. Bukan itu saja, air ini kembali dialirkan melewati drainase bawah tanah menuruni perbukitan Petirtaan Jolotundo menuju kawasan permukiman sebagai air bersih dan sumber pengairan irigasi sawah warga.
Hal tersebut turut dibenarkan Lektor Kepala Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial UNM Ismail Lutfi saat diskusi melalui kanal Youtube Balai Pelestari Kebudayaan Wilayah XI Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Menurutnya, debitnya tak pernah berubah, selalu deras, sejuk, dan sangat jernih.
BACA JUGA: Mengawal Hak Pilih Penyandang Disabillitas Mental
BACA JUGA: KKP Siapkan Aturan Lindungi Nelayan Penangkap BBL
"Seiring waktu, Petirtaan Jolotundo yang ditemukan kembali di abad modern dikembangkan sesuai kebutuhan masyarakat sambil mempertahankan fungsi awal selaku tempat suci serta living monument dan tempat ibadah umat Hindu serta edukasi untuk wisata minat khusus. Misalnya metri banyu atau penghormatan kepada fungsi dan kelestarian air yang telah dianut sejak era masyarakat Jawa kuno. Mereka menganggap air bagian dari kesucian dan harus terus dijaga," ungkap Ismail.