Sektor pertanian masih menjadi andalan Indonesia karena 70 persen penduduknya masih mengandalkan beras sebagai makanan sehari-hari. Oleh sebab itu, kesuburan lahan pertanian menjadi suatu keharusan dan merupakan aset bernilai ekonomi tinggi. Kesuburan lahan terkait erat dengan sifat asal tanah dan melibatkan suatu proses panjang pengelolaan tanah dari generasi ke generasi. Artinya, bukan sebuah produk instan.
Contoh tersebut dapat dilihat pada pembukaan kawasan transmigrasi yang semula berupa lahan dengan produktivitas rendah dan melalui proses panjang berubah menjadi lahan subur. Proses tersebut menghasilkan lahan yang mampu mencetak pundi-pundi baru bagi para penggarapnya yaitu warga transmigrasi. Hal serupa juga dapat dilihat dari penciptaan sawah-sawah irigasi teknis di seluruh Indonesia sejak puluhan tahun lalu serta menghijaukan lahan-lahan kering menjadi bernilai ekonomi tinggi. Pola kesuburan lahan pertanian di tiap daerah tidaklah sama, karena adanya perbedaan yang spesifik. Pada lahan bekas hutan yang subur, umumnya memiliki produktivitas tinggi di awal dan kemudian menurun jika tidak ditambahkan input pupuk organik dan anorganik dari luar. Karenanya, agar produktivitas terjaga, maka perlu adanya tambahan pupuk. Menurut Pakar Pertanian Ladiyani Retno Widowati, sebagian besar lahan bukaan baru memang sejak awal kurang subur karena lahan yang dibuka tergolong suboptimal. Lahan ini dengan budi daya yang baik, telaten dan dijaga tingkat kesuburannya, maka akan mempunyai produktivitas sedang hingga tinggi setelah belasan tahun pengelolaan dengan campur tangan manusia. BACA JUGA:Harus Tau, Berikut Ragam Makanan Khas Bengkulu Percepatan peningkatan kesuburan dengan penerapan inovasi dan teknologi dapat memangkas waktu dari belasan tahun menjadi 2-3 tahun. "Pada konteks ini, hasil yang buruk di musim tanam pertama pada lahan suboptimal bukanlah sebuah kegagalan mutlak. Tetapi sebuah proses untuk mendapatkan informasi pembatas dan kendala pertumbuhan untuk meningkatkan produktivitas," ujarnya seperti dikutip dari Antara. Ladiyani Retno Widowati yang juga Kepala Balai Pengujian Standar Instrumen (BPSI) Tanah dan Pupuk Kementerian Pertanian, menyebutkan bahwa meski ada intervensi inovasi dan teknologi pada lahan suboptimal, maka hasilnya tentu berbeda dengan lahan pertanian subur yang sudah stabil dalam satu musim tanam. Dibutuhkan waktu beberapa musim tanam hingga lahan menjadi stabil. Misalnya adalah lahan di kawasan Gunung Mas, Kalimantan Tengah yang masuk kategori suboptimal. Tanah di lokasi tersebut tergolong tanah spodosol didominasi pasir kuarsa, kadar sangat rendah, dikenal sebagai tanah kurang subur. Ketika berupa hutan menghijau, tampilan vegetasi di atas Spodosol memang tampak seperti subur karena berada pada suatu ekosistem tertutup. Ladiyani menyebut tanah Spodosol yang berupa hutan sebagai kesuburan semu. Umumnya Spodosol alami memiliki humus tipis di atas lapisan albic berwarna putih berupa pasir kuarsa yang tebal. Saat dibuka untuk pertanian, lapisan humus segera hilang, sehingga yang tersisa hanya lapisan pasir kuarsa yang miskin hara. Meski memiliki sifat porositas tinggi, pasir pada lahan suboptimal umumnya berada di atas lapisan batuan pasir yang keras serta menempati cekungan. Sehingga ketika hujan, air tergenang pada lokasi-lokasi tertentu. Menurut peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Destika Cahyana, tanah dengan kandungan Spodosol pada lereng di kemiringan 15 derajat sangat peka terhadap erosi. Jika turun hujan, infiltrasi tanah sangat lambat, hanya 1 sentimeter per jam. Akibatnya, dua hari setelah hujan, saluran air masih tetap penuh dan belum menyerap seluruhya ke dalam tanah. Beberapa tahapan inovasi pun dilakukan agar lahan tetap memiliki produktivitas sedang hingga tinggi, meliputi penataan lahan dan ameliorasi dengan menambah tanah mineral dan bahan organik. BACA JUGA:Harus Tau, Berikut Ragam Makanan Khas Bengkulu "Tanah yang baik idealnya memiliki proporsi pasir, debu, dan liat yang seimbang. Berikutnya pemupukan sumber N, hara NPK majemuk, hara makro sekunder, dan hara mikro dibutuhkan untuk memasok hara," terang Destika, doktor Ilmu Tanah IPB University. Lahan bertipe tadi cocok ditanami jagung lantaran umur tanamnya pendek, yaitu 110-115 hari tanam, seiring perubahan perbaikan lahan. Agar tumbuh subur, menurut pria kelahiran Bogor 19 Desember 1979 yang sempat mengenyam pendidikan penginderaan jarak jauh di Universitas Chiba, Jepang, lahan pertaniannya harus diperhatikan pola tata airnya. Destika menyebut, tumbuh suburnya jagung pada lahan bertipe suboptimal akan menjadi indikator terhadap kesuburan lahan dan keberhasilan pengelolaan tanahnya. Lahan akan terus membaik jika inovasi dan teknologi terus diterapkan dari musim ke musim. "Tentu lahan yang semakin subur harus dijaga dengan konservasi tanah dan air agar investasi yang dibenamkan tidak hilang percuma akibat erosi. Tanah yang semakin subur juga jangan lagi beralih menjadi lahan nonpertanian," tegasnya. Ladiyani dan Destika sepakat bahwa melalui intervensi inovasi dan teknologi mampu mengurai lahan-lahan kurang produktif hingga memiliki produktivitas lebih baik di seluruh Indonesia. Tentunya diiringi dengan adanya upaya, biaya, dan konsistensi di dalam penerapan dan keberlanjutannya. (*) Sumber : Indonesia.go.id
Kategori :