Kadang, aku duduk di dek, menatap laut yang luas dan tak bertepi. Laut yang menyimpan begitu banyak rahasia, yang menyimpan begitu banyak rasa sakit, namun juga yang menjanjikan kedamaian.
BACA JUGA:Anak Sekolah Dasar yang Mati Tak Berdasar
BACA JUGA:Love or Ghosting
Suatu sore, seorang perempuan tua mendekatiku. Ia mengenakan pakaian sederhana, namun memiliki sorot mata yang tajam.
"Kau tampak resah, Nak," katanya, duduk di sampingku.
Aku terdiam sejenak, lalu menceritakan sebagian perjalananku. Tentang Kiara, tentang pencarian ketenangan, tentang pedang Samurai Motoyama dan pesan Rumah Matahari. Perempuan tua itu mendengarkan dengan sabar, sesekali mengangguk.
"Tapi aku takut," kataku lirih. "Takut gagal, takut kehilangan."
BACA JUGA:Ibu Sambung
BACA JUGA:GUBUK KECIL DAN RINTIK HUJAN
"Ketakutan itu wajar, Nak," perempuan tua itu tersenyum. "Namun, jangan biarkan ketakutan itu menguasai hidupmu. Beranilah untuk melangkah, beranilah untuk menghadapi apa pun yang datang."
Ia memberikan sebuah kerang kecil kepadaku. "Ini untukmu," katanya. "Simpanlah kerang ini sebagai pengingat, bahwa di dalam setiap kesulitan, selalu ada keindahan yang tersembunyi."
Aku menerima kerang itu, memegangnya erat-erat. Kata-kata perempuan tua itu seperti embun pagi yang menyejukkan hatiku yang gersang. Aku merasa lebih tenang, lebih bersemangat untuk melanjutkan perjalananku.
Malam itu, aku bermimpi. Aku bermimpi tentang laut yang berkilauan, tentang cahaya yang menuntunku, tentang kedamaian yang akhirnya kutemukan. Ketika aku terbangun, aku merasa lebih damai. Perjalanan masih panjang, namun aku yakin, aku akan sampai pada tujuan.
BACA JUGA:FATAMORGANA BRAVIA MANJIA
BACA JUGA:LELANANGE JAGAD MERINGKUK DI KOSAN
Aku akan kembali ke laut, bukan sebagai pelarian, tetapi sebagai sebuah kepulangan. Kepulangan ke diriku sendiri.