Cerpen : Fileski Walidha Tanjung
RADARUTARA.BACAKORAN.CO - Tengah hari, siang bolong. Ia duduk di Pendopo Taman, tempat yang biasanya ia kumpul bersama teman-teman komunitas pegiat budaya.
Hari ini puasa, selama satu bulan penuh bagi umat muslim di bulan Ramadhan. Sehingga warung-warung di sekitaran pendopo yang biasanya buka, harus tutup untuk menghormati bulan yang suci.
Tanpa camilan, tanpa teman, pak Kawul merenung berteduhkan atap pendopo yang menjulang. Bukan hanya mencari ketenangan pikiran, tapi juga mencari kesejukan di hari yang terik.
Ada satu warung yang buka, namun terlihat tak ada pengunjungnya sama sekali. “Mbak Yu, dawetnya buka toh?” Tanya pak Kawul kepada penjual dawet ayu.
BACA JUGA:Wanita yang Nglungsungi Seperti Ular
BACA JUGA:DI NEGERI PARA PESOLEK
“Mboten buka pak Dosen, ini kan masih puasa, saya cuman beres beres saja. Kan beberapa hari lagi sudah lebaran, jadi saya persiapan mudik dari sekarang.”
Jawab mbak Ayu si penjual dawet ayu. Kabarnya mbak Ayu itu janda, meski usia 40 tahun tak lagi dikatakan muda, tapi senyumnya cukup bisa menyegarkan terik siang yang dirasakan pak Kawul.
Siang bolong begini, tak ada teman seniman yang ikut nimbrung. Biasanya mereka kumpul berdiskusi tentang seni budaya di malam hari.
Sendirian ia merenung di tempat itu. Sehari-hari ia sebagai dosen di salah satu kampus swasta yang ada di kota ini. Hanya saja hari ini tak ada jadwal ngajar kuliah.
BACA JUGA:Sebelum Pandemi dan Sesudah Itu Mati
BACA JUGA:PEREMPUAN YANG MENJUAL DIRINYA PADA JARAK
Pak Kawul sudah menikah, bukan hanya satu kali. Ia punya 3 anak, dari 3 istri yang berbeda. Istri pertamanya meninggal di tahun 2007, karena sakit kanker payudara.
Ketika itu anaknya masih balita. Sehingga harus dititipkan di rumah mertuanya. Tak bisa ia merawat anaknya sendiri, karena harus bekerja mencukupi kebutuhan hidupnya.
Satu tahun berjalan, Pak kawul Menikah lagi, dengan wanita cantik yang ia kenal di warung kopi langganannya. Biar seorang janda, ia tak peduli.