Suro Diro Joyo Ningrat Lebur Dining Pangastuti

Ilustrasi--

RADAR UTARA - Nasihat Semar (Sang Hyang Ismoyo), ini berarti semua kepicikan, keras hati dan pemarah yang ada dalam diri manusia. Akan kalah atau lebuh dengan hati yang bijak, sabar dan lembut.

Falsafah digambarkan oleh Semar, seperti api yang tidak akan bisa dipadamkan dengan api. Tapi membutuhkan air, untuk memadamkannya.

Ini dimaknai sebagai ajaran mengolah batin, untuk bisa menumbuhkan sikap bijak, rendah hati dan sabar. Agar sikap buruk yang ada pada diri, tidak kemudian menjelma sebagai citra diri, suatu kebiasaan yang luhur.

Sebuah janji dalam kumpulan peristiwa, Tuhan, bahkan menerangkan, dirinya bersama dengan orang-orang yang sabar.

Memang kesabaran manusia ada batasnya. Namun, jika batin sering diolah, diajak sinau (belajar), maka manusia akan bisa menjaga dan menemukan keseimbangan-keseimbangan dalam hidup. Karena sejatinya Urip Iku Urup; hidup itu nyala. jadi sudah pasti, hidup kita harus bisa memberikan kemanfaatan bagi orang lain, agar lebih bermakna.

BACA JUGA:Lakon Wayang: Sedulur Papat Limo Pancer

Nasehat; Suro Diro Joyo Ningrat Lebur Dining Pangastuti ini, juga sering digambarkan oleh budaya Jawa dalam seni wayang kulit. Dimana, seorang dalang yang memainkan wayang, mengambarkan watak picik, keras hati dan mengumbar angkara atau pemarah ini. Melalui seorang tokoh wayang yakni Prabu Rahwono/Rahwana. Sosok ini, begitu keras hatinya untuk memiliki Dewi Sinta, yang merupakan istri dari Prabu Romo Wijoyo/Rama Wijaya. 

Dari peristiwa itu, tidak hanya soal angkara murka yang menjadi pembelajaran buruk yang tidak patut dilakukan. Tapi juga mengajarkan pada kita semua, dalam sebuah Bahasa Sansekerta yakni Daksinapati yang berarti Suami yang jujur.

Seperti yang dituang dalam ulasan-ulasan sebelumnya. Bahwa keluarga atau rumah tangga, merupakan sebuah biduk yang bisa menjadi dasar sikap. Untuk melakukan hal-hal yang luar biasa di luar sana. Melakukan hal-hal terbaik dalam karier.

Melakukan hal-hal hebat untuk kemaslahatan umat. Bahkan, menjadi kuda-kuda inti dalam bernegara. Karena menjaga dari hal-hal baik serta bertanggungjawab akan keluarga adalah integritas. Itulah ahlak. 

Watak angkara, yang disandang Prabu Rahwana ini, benar-benar merusak tatanan, kehidupan mulai dari dirinya sendiri, keluarga, suku, golongan. Bahkan sampai-sampai merusak tatanan negara hingga alam yang rusak, lantaran watak angkara. 

Akhir buruk yakni Jalmo Angkoro Mati Murko atau kesulitan atau pun kesengsaraan gegara kemarahannya sendiri. Situasi di atas, bukan semata-mata bagian dari lelakon pewayangan, cerita bahkan selevel legenda yang memiliki misi menjumput nilai-nilai pitutur.

Studi di sektor kesehatan, bahkan sudah menegasi, ribuan syaraf manusia terputus, ketika marah. Maka pemulihannya pun membutuhkan proses yang tentunya memakan waktu.

Lantas, apakah fenomena seperti ini juga ada dalam gelaran kehidupan saat ini? untuk mampu menjawab atau melihatnya, memerlukan akal dan naluri yang bersih. Tanyakan pada diri. Apakah kita berada di dalamnya? Atau kita masih dalam perlawanan yang sungguh-sungguh? atau kita termasuk insan beruntung: mampu mengendalikan hawa nafsu dan angkara murka.  

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan