Sejarah Kerajaan Aceh dalam Catatan Orang-orang Arya

Busana orang Aceh ketika bertemu misionaris Portugis pertama kali, tampak buluh sumpit dan mata sumpit seperti orang Nias dan Dayak. Foto: Wikipedia/Ist--

Hubungan antara Kerajaan Mughal di India dengan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara telah banyak diketahui oleh peneliti-peneliti sejarah Asia Tenggara. Tak kurang nama-nama besar seperti mendiang Denys Lombard dari Prancis hingga yang masih aktif hingga hari ini Anthony Reid dari Australia, telah banyak menulis tentang hal itu. Karya besar mereka hingga hari ini masih merupakan studi yang menginspirasi banyak peneliti selanjutnya.

Walaupun demikian, menurut Sanjay Subrahmanyam, peneliti sejarah dari India yang saat ini menjadi guru besar di UCLA, Amerika Serikat, gambaran tentang negeri-negeri di Asia Tenggara di dalam catatan orang-orang Indo-Aryan (Mughal) masih belum jelas benar. Bagi Subrahmanyam, yang punya spesialisasi dalam bidang sejarah Mughal, belum ada uraian yang bisa menjelaskan bagaimana persepsi kultural tentang orang Asia Tenggara dalam benak orang Mughal. Demikian juga sebaliknya, belum cukup sumber-sumber dari Asia Tenggara yang bisa menceritakan kesan mereka tentang orang-orang "atas angin" ini.

Subrahmanyam, yang juga pernah menjadi salah seorang direktur di sekolah ilmu sosial EHESS Paris, Prancis, seperti halnya mendiang Lombard, dalam sebuah artikel yang dimuat di majalah Archipel nomor 70 tahun 2005, mengakui bahwa pada paruh akhir abad 16, telah terjadi hubungan dagang yang amat kompleks antara dua kawasan yang disambungkan oleh  Samudera Hindia ini. Sebagai contoh, hubungan dagang antara pelabuhan Gujarat, khususnya Pelabuhan Tua Surat, dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Teluk Benggal, Ujung Sumatra, dan Semenanjung Melayu bisa dicermati bahkan dihitung kuantitasnya walaupun terbatas.

Orang telah banyak mengetahui bahwa tekstil adalah andalan utama perdagangan dari Mughal. Sementara rempah-rempah, kayu-kayu aromatik, mineral, dan metal, hingga gajah adalah produk-produk yang datang dari kepulauan Nusantara. Tetapi catatan tentang kondisi bangsa-bangsa yang menghuni wilayah "bawah angin" masih sedikit ditemukan. Catatan-catatan bangsa Eropa, seperti Portugis dan Spanyol, yang diharapkan bisa memberikan petunjuk, masih sangat terbatas dalam deskripsinya.

Kamper dan Kanibal

Penelusuran Subrahmanyam, terhadap teks-teks warisan Kerajaan Mughal yang dibuat pada akhir abad 16 hingga awal abad 17, ternyata membuahkan hasil. Naskah berjudul Raudhatut Thahirin, atau "Taman yang Sempurna" memuat beberapa catatan deskriptif walaupun terbatas tentang penghuni kepulauan "bawah angin". Naskah itu dibuat oleh Thahir Muhammand bin 'Imaduddin Hasan bin Sultan Ali bin Haji Muhammad Husain Sabzwari yang lebih dikenal sebagai Muhammad Thahir.

Catatan itu terdapat dalam buku kelima yang menulis tentang "keajaiban dan kehebatan pulau-pulau dan pelabuhan" yang dekat dengan wilayah Benggal. Di dalamnya terdapat sumber tulisan yang berasal dari catatan Khoja Baqir Anshari, punggawa Mughal yang bertugas di Benggal. Muhammad Thahir menyelesaikan catatan ini di masa kepemimpinan Sultan Akbar. Muhammad Thahir sendiri adalah seorang imigran dari Iran, anak dari seorang punggawa kerajaan.

Deskripsi Thahir tentang kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara secara khusus diberikan pada dua kerajaan besar yakni Kerajaan Pegu (Burma) dan Kerajaan Aceh. Dalam tulisan ini hanya akan dibahas catatan Thahir tentang Kerajaan Aceh. Kerajaan Aceh mulai dikenal di kerajaan Mughal sejak diperkenalkannya tembakau. Seorang petugas bernama Asad Beg Qazwini telah mempersembahkan hadiah kepada Sultan Akbar seperangkat alat menghisap tembakau yang dibuat dan didatangkan dari Aceh. Alat itu adalah pipa panjang yang terbuat dari emas. Salah satu hiasan di ujung pipa itu adalah batu mulia yang didatangkan dari Yaman.

Thahir menjelaskan dengan panjang lebar tentang bagaimana mendapatkan kamper (kapur barus). Komoditas yang sangat berharga itu hanya bisa didapatkan di wilayah yang dihuni oleh suku-suku kanibal. Perlu lima hari perjalanan untuk pergi ke wilayah tempat pohon kamper itu berada. Catatan selanjutnya lebih pada kecenderungan untuk menggambarkan praktek kanibalisme yang dilakukan para penghasil pohon kamper. Mulai dari mereka memakan anggota suku yang sakit sampai soal taruhan judi yang mengorbankan salah satu anggota badannya.

Getah dari pohon kamper akan muncul pada musim hujan tertentu yang ciri-cirinya bisa dilihat saat tetesannya jatuh di antara daun pisang. Tidak hanya getah kamper yang sudah jadi, Kerajaan Aceh juga mengirimkan batang pohon kamper yang menghasilkan getah itu.

Thahir mencatat bahwa pohon kamper itu menyerupai pohon mangga. Ada tiga cara untuk mendapatkan getah kamper, tulis Thahir, yang pertama dari kulitnya, yang kedua di antara cabang pohonnya, dan yang ketiga ditoreh dari bagian bawah pohon.

Hukum yang Keras

Setelah asik dengan cerita kanibalisme dan kapur barus, Thahir berganti cerita tentang adat orang Aceh. Ibu Kota Kerajaan Aceh adalah kota yang penuh dengan kotwal atau petugas pengintai. Segala kegiatan warganya serba diawasi. Jika ada pasangan jatuh cinta mereka akan dicatat pengintai. Jika mereka ketahuan berzina mereka akan dihukum rajam.

Hukum di Aceh juga keras dengan praktik potong tangan bagi pencuri. Ada juga hukum buang ke tempat terpencil bagi pasangan yang melanggar aturan tertentu. Semua itu, menurut catatan Thahir dibuat oleh penguasa kerajaan agar penduduknya disiplin dan siap menghadapi kedatangan penjajah Peranggi (Portugis).

BACA JUGA:Huashan, Gunung Suci Berjuluk Jejak Kematian

Hampir semua warga Aceh menurut Thahir adalah prajurit yang siap membela kerajaan sampai mati.  Mereka mempunyai kemampuan bela diri yang hebat. Salah satu rahasia kehebatan mereka adalah "minyak rahasia" yang bisa dituangkan ke air dan tetap mampu menyalakan api.  Agar tidak ketahuan Peranggi, Sultan memonopoli produksi minyak ini.

Syekh yang Mengawini Bidadari

Catatan paling menarik adalah riwayat dinasti penguasa Aceh. Di dalamnya disebutkan bahwa Hakim atau pengadil Aceh adalah seorang Sayid yang berasal dari Najaf (Iraq). Konon Sayid ini yang berasal dari keluarga terpandang telah berhasil memberi kesan yang bagus bagi penguasa Aceh sehingga dia bisa menetap di kerajaan.

Pada suatu hari Sayid mendengar ada suara-suara aneh dari gunung. Dia diberi tahu bahwa suara itu berasal dari para bidadari yang sedang mandi. Sayid tertarik dengan hal itu dan dia mencari kolam pemandian bidadari. Sesampai di sana dia sembunyi. Begitu bidadari datang dari gunung, Sayid menyembunyikan selendang salah seorang bidadari. Kisah selanjutnya mudah ditebak, salah satu bidadari tidak bisa terbang pulang, lalu Sayid yang menolong bidadari itu dan menjadikannya istri. Dari sanalah muncul generasi penguasa Aceh selanjutnya.

Sumber : Indonesia.go.id

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan