Banner Dempo - kenedi

Asusila Masih Jadi Momok di Bengkulu Utara

Kepala Dinas Pemberdayaan, Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Bengkulu Utara (BU), Solita Meida--Kepala Dinas Pemberdayaan, Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Bengkulu Utara (BU), Solita Meida

ARGA MAKMUR RU - Kekerasan seksual terhadap peremapuan dan anak, masih menjadi momok sosial. Faktanya, tahun ke tahun tindak asusila yang terungkap, cenderung meningkat. Data komparatif antara tahun 2022 dengan tahun 2023, pidana yang mengancam pelakunya maksimal 20 tahun penjara, bahkan dapat dikebiri itu. Secara kuantitatif menunjukkan sinyalemen penurunan degradasi moral di lingkungan sosial. 

 

Dikonfirmasi, Kepala Dinas Pemberdayaan, Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Bengkulu Utara (BU), Solita Meida, atas penjelasannya dan data yang disampaikan saat wawancara menunjukkan degradasi moral itu. Penutup tahun 2023, tercatat kekerasan seksual yang mendera perempuan dan anak, jumlahnya mencapai 44 kasus. 

 

"Dari total kasus yang terjadi, sebanyak 78 orang menjadi korbannya," beber Solita, belum lama ini. 

 

Dia tak menjabar, apa-apa saja yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual itu terjadi. Dia juga belum mengungkap, hasil mitigasi yang telah dilakukan satuan kerjanya, alih-alih untuk mendesain langkah pencegahan yang sangat perlu dilakukan. 

BACA JUGA: Selain Dugaan Panen Sawit DAS, Pabrik CPO Agricinal Tetap

Tapi dalam warta sebelumnya, Solita menjabarkan, salah satu improvisasi yang telah dilakukan adalah membangun sinergi antar satker di daerah, salah satunya dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD), untuk memassifkan kampanye pencegahan kekerasan seksual termasuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).  

 

"Tahun 2022 tercatat 29 kasus dengan korban 29 orang," jabarnya, menjelas.

  

Soal upaya yang sudah dilakukan daerah, dalam kasus ini, Solita menyampaikan. Seluruh data korban yang pihaknya terima, telah dilakukan pendampingan. Hasil pendampingan itu, Solita mengungkap data ironi. Korban didominasi anak-anak. 

 

Dijabarkannya, 35 kasus yang menjadi korban adalah anak-anak di bawah umur, diikuti dengan kasus persetubuhan sebanyak 16 kasus. KDRT sebanyak 11 kasus, 8 kasus pencabulan/pemerkosaan, 7 kasus kekerasan fisik, dan 1 kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO). 

 

"Pemerintah daerah terus mendesain, langkah-langkah dalam persoalan sosial ini. Salah satunya, mulai dari dukungan fiskal, sinergi antar lini di daerah sebagai bagian dari improvisasi," ungkapnya, memungkas.

 

Untuk diketahui, ada 3 jenis KDRT yang relatif awam di masyarakat. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang 23 Tahun 2004. Terdapat 4 jenis KDRT, selain kekerasan fisik. Adalah kekerasan psikis, kekerasan seksual serta penelantaran. 

BACA JUGA:Lagi, Jembatan Pagardin Disapu Banjir. Begini Kondisinya...

Kekerasan psikis, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang;

 

Berikutnya, kekerasan seksual meliputi; a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap di lingkup rumah tangga; b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu;

 

Selanjutnya, adalah penelantaran yang meliputi; a. Menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku atau karena perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut; b. Mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam rumah atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. 

 

Ketiganya ini, kata Sonti, sudah dilugas dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. (bep)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan